Tony Rosyid
[Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa]
Hari ini, senen 10 pebruari PAN mengadakan konggres di Kendari Sulawesi Tenggara. Empat calon yang muncul: Zulkifli Hasan (Zulhas), Asman Abnur, Drajat Wibowo dan Mulfachri Harahap.
Zulhas adalah incumbent. Mestinya paling berpeluang. Semua kekuatan dan jaringan di tangan. Apalagi penguasa kebarnya memberi dukungan. Amien Rais bilang: pihak ketiga seharusnya gak ikut campur di konggres PAN. Begitu sindirnya. Siapa pihak ketiga? Yang dimaksud Amien pasti bukan Tuhan.
Meski incumbent, Zulhas dianggap gagal memimpin PAN selama lima tahun terakhir. Banyak kader yang mempersoalkan perolehan kursi PAN di DPR pada pemilu 2019 lalu. Dari 49 kursi turun jadi 44 kursi. Padahal, dua partai pengusung Prabowo-Sandi mengalami kenaikan. Gerindra naik dari 73 kursi jadi 78 kursi. PKS naik dari 40 kursi jadi 50 kursi. Di tengah eforia dan soliditas umat, mengapa justru suara PAN turun? Fakta ini dijadikan peluru tajam bagi kubu lawan untuk menyerang Zulhas. Baik kubu Asman Abnur, Mulfachri Harahap maupun Drajat Wibowo, semuanya menyoal kegagalan ini. Kalau sudah gagal, kenapa harus maju lagi? Begitu kira-kira narasi mereka.
Apalagi di dalam tradisi kepemimpinan PAN, setiap ketua umum hanya memimpin satu periode. Tradisi inilah yang nampaknya berupaya
dijaga dan dipertahankan oleh umumnya kader PAN. Ini baik sebagai proses regenerasi dan kaderisasi yang sehat.
Selain dua faktor ini, Zulhas juga dituduh telah membangun partai dengan pola sentralistik. Terutama dalam penentuan calon kepala daerah. Kabarnya, semua dimainkan oleh Pusat. Belum lagi kasus suap hutan yang menyebut-nyebut nama Zulhas.
Kendati demikian, di dalam politik, varian variabelnya sangat banyak dan dinamis. Maka, tak ada yang mutlak. Semua kemungkinan tetap terbuka. Apalagi demokrasi di Indonesia, elektabilitas lebih sering dikendalikan oleh uang, bukan oleh integritas dan kapasitas.
Jika Zulhas tak dikehendaki, lalu siapa yang lebih besar peluangnya untuk menggantikannya? Ada dua nama yang nampaknya semakin menguat suaranya yaitu Asman Abnur dan Mulfachri Harahap. Dari dua nama ini, Asman lebih diuntungkan karena pertama, lebih populer. Asman pernah jadi menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan). Kedua, lebih diterima oleh - dan dianggap mampu- bersinergi dengan pemerintahan sekarang. Mengingat, Asman adalah mantan menterinya Jokowi. Memilih mundur dari jabatan menteri ketika partainya yaitu PAN mendukung Prabowo. Etika politik kabarnya menjadi alasan mengapa Asman mundur.
Di sisi lain, Mulfachri Harahap juga punya keuntungan karena mendapat dukungan dari Amien Rais, sang pendiri PAN. Jika Asman Abnur mendapat dukungan dari Hatta Rajasa, maka Mulfachri disupport total oleh Amien Rais. Di PAN, Amien Rais adalah tokoh yang dianggap paling kuat pengaruhnya selama ini. Apakah Amien masih cukup kuat saat ini? Atau akan bernasib seperti Gus Dur saat PKB diambil alih oleh Muhaimin. Hasil konggres hari ini akan membuktikan.
Jika Zulhas nantinya benar-benar tak dikehendaki untuk dua kali memimpin PAN, maka konggres kali ini sesungguhnya akan menjadi duel antara dua tokoh besar di PAN, yaitu Amien Rais vs Hatta Rajasa. Siapa yang masih kuat pengaruhnya?
Soal klaim kemenangan, itu hal biasa dalam konggres. Masing-masing kandidat mengaku didukung 300-400 pemilih. Tapi, jika dilihat dari kekuatan strategi, kedua kandidat yaitu Asman dan Mulfachri memiliki pola yang agak berbeda. Mulfachri lebih mengandalkan kharisma, pengaruh dan jaringan Amien Rais. Sementara Asman Abnur memilih bergerilya, bertemu face to face dengan para pemilih di tingkat DPD maupun DPW. Pasti ada kesepakatan-kesepakatan tertentu, baik yang bersifat ideal maupun kesepakatan pragmatis. Hal biasa dalam politik di konggres. Tentu, faktor kekuatan jaringan yang dimiliki Hatta Rajasa juga gak bisa dianggap kecil untuk support Asman. Bagaimanapun, Hatta Rajasa adalah mantan ketua umum PAN yang pernah sukses menaikkan kursi PAN secara signifikan.
Tapi, siapapun yang akan terpilih menjadi ketua umum PAN, rakyat di luar ruang konggres hanya berharap partai ini bisa lebih besar lagi kontribusinya untuk bangsa kedepan. Tidak lagi "tersandera" sebagaimana dugaan publik selama ini sehingga membuat PAN tidak leluasa dalam menentukan pilihan politiknya. Jangan sampai PAN dianggap gak punya jenis kelamin. Koalisi gak, oposisi juga gak. Begitu kritik publik selama ini. [PurWD/voa-islam.com]
Jakarta, 10/2/2020