View Full Version
Rabu, 12 Feb 2020

Terowongan Toleransi

Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Keagamaan)

Setelah fikiran memindahkan ibukota ke daerah yang ternyata banjir, berlubang lubang bekas tambang, serta membangun dari nol, kini muncul fikiran dan agenda membuat "ikon toleransi" dengan membuat terowongan antara Masjid Istiqlal ke Gereja Kathedral. Pertanyaan awal dan mendasar apa gunanya ? Tempat pertemuan sembunyi sembunyi atau agar dapat beribadah bergantian tempat ?

Kadang sulit dimengerti cara berfikir sesaat yang tak matang atau mengikuti suara pembisik yang mungkin hanya sekedar cari muka. Jika untuk jalan masuk pendeta atau pastur menuju masjid sangat tidak tepat, sebab masjid bukan tempat yang bisa begitu saja "diinjak injak" non muslim. Begitu juga tidak ada kepentingan ustadz atau kyai yang berceramah atau ibadah di masjid harus datang ke gereja tanpa kepentingan apapun.

Bagi jamaah dari kedua agama tentu tidak bermakna pula. Lalu untuk siapa manfaat terowongan? Mungkin untuk turis, tetapi gereja dan masjid bukan obyek terbuka bagi turis yang keluar masuk dengan membayar tiket. Ini adalah tempat ibadah bukan museum atau monumen sejarah.

Ikon toleransi? Rasanya tidak juga. Paling namanya "artificial icon". Sandiwara atau buat buatan saja. Bisa bisa malah menjadi ikon kebohongan. Namanya juga artifisial, bohong bohongan.

Jika terowongan ingin bermakna bagi umum sebaiknya ya jadi penyebarangan jalan. Dari trotoar ke trotoar. Jika pejalan harus selalu memasuki halaman tentu tak baik dari segi estetika maupun keamanan. Untuk sekedar berfungsi sebagai penyeberangan maka tak diperlukan sarana yang berbiaya tinggi.

Konon terowongan juga agar jemaat Katedral dapat parkir di halaman Istiqlal. Nah jika ini sebagai alasan maka sederhana sekali hanya urusan parkir. Jadi, dari aspek apapun terowongan ini jelas mubazir.

Alih alih menjadi ikon "jembatan silaturahim" yang terjadi bisa fitnah. Jika terjadi apa apa di Gereja maka yang disalahkan bisa jama'ah Istiqlal yang menggunakan terowongan.

Soal toleransi baiknya substansial bukan dengan simbol. Fondasinya tetap "lakum diinukum wa liya diin".


latestnews

View Full Version