View Full Version
Rabu, 12 Feb 2020

Liberalisasi Tata Nilai Islam Dibalik Rencana Penghapusan Kewajiban Sertifikat Halal

 

BELUM lama ini opini liar "No Hijab Day" sebagai bentuk liberalisasi pakaian muslimah buah kebebasan berekspresi yang digencarkan kaum liberalis senantiasa terus mengotak-atik ajaran Islam demi memuaskan kedangkalan nalarnya. Dan tak hanya berhenti disitu seperti yang kini tengah terjadi ada upaya liberalisasi dalam tata nilai Islam dibalik rencana penghapusan kewajiban sertifikat halal. Dimana sertifikasi halal pada produk UMKM akan dihapus yakni tidak dibebankan kepada pelaku UMKM namun dibatasi cukup di tingkat produsen dengan mengabaikan jaminan halal ditingkat produksi dan distribusi dengan alasan menggenjot produktivitas dan kemudahan.

Jelas hal ini menimbulkan kekecewaan berbagai pihak termasuk masyarakat Indonesia yang secara sosiologis mayoritas muslim. Seperti dilansir (detiknews, selasa 21/1/20) MUI Jabar Sayangkan Draf Omnibus Law Hapus Kewajiban Sertifikat Halal. Sekretaris umum MUI Jabar Rafani Achyar menyatakan kekecewaannya " soal produk halal itu bukan hanya MUI, tetapi sudah ada undang-undang tentang Badan Jaminan Produk Halal (JPH). Menurutnya sertifikat halal diberikan agar masyarakat khususnya umat muslim tidak terjebak pada makanan yang mengandung unsur haram sesuai ajaran Islam.

Nada keberatan pun terlontar dari Sekjen MUI Anwar Abbas dilansir (detiknews, selasa 21/1/20), beliau mengatakan bahwa apa saja yang kita buat apakah itu dalam bidang politik dan atau ekonomi dia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan bahkan ia harus mendukung bagi tegaknya ajaran agama itu sendiri, terutama Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk negeri ini. Anwar menilai rencana penghapusan ini menandakan ketidakhadiran negara dimana pemerintah tidak lagi hadir untuk membela hak-hak rakyatnya. Karena jelas mengabaikan dan tidak lagi menghormati kepentingan umat Islam.

Oleh karenanya sangat berbahaya jika pemikiran liberal ini terus dikembangkan untuk menghapus sertifikat halal dalam kehidupan ekonomi dan bisnis, bahkan disegala aspek kehidupan. Islam mengatur 3 hubungan yakni antara manusia dengan penciptanya, dengan sesama dan hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri dimana ketiganya adalah merupakan bagian dari batasan Islam itu sendiri dan wajib terikat dengan hukum syara dengan standar hukum perbuatan yaitu halal dan haram. Umat muslim meyakini akan adanya hisab dari setiap pilihan yang dikakukan dalam setiap aktivitasnya termasuk dalam hal memilih makanan yang jelas kehalalan dan thayyibannya.

Ketika konsep halal dan thayyiban ini mulai diganggu, dimanakah peran pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya? Sebenarnya kearah mana regulasi terkait hal ini yang jelas bersebrangan dengan akidah umat muslim. Jaminan halal adalah regulasi yang lahir karena desakan publik semata jelas tidak sejalan dengan misi negara sekuler sehingga rawan dimanipulasi demi tercapainya kepentingan materialistik. Mengingat sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia maka suatu hal yang wajar jika berbagai regulasi dibuat oleh pemerintah hakikatnya untuk menjaga kepentingan pemilik modal tidak berbasis kepentingan rakyat. Apakah hapus jaminan halal demi genjot pendapatan negara, ataukah ada misi lain sebagai bentuk liberalisasi tata nilai Islam itu sendiri?

Sejak awal kaum liberalis senantiasa menentang ajaran Islam dengan 3 prinsip yang diusungnya yakni kebebasan, individualisme dan rasionalisme. Rezim sekuler telah gagal melindungi hak publik dalam memberikan jaminan halal. Waspada akan bahaya konsep liberal yang senantiasa mengotak-atik tata nilai Islam apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah SWT sebagai manivestasi penyerang akidah dalam meracuni pemahaman umat.

Pentingnya peran dan kewenangan negara dalam membuat aturan hingga menetapkan sanksi atas pelanggaran hukum syara yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaaffah sebagai bentuk penjagaan iman dan ketaatan warga negara agar umat tak lagi teracuni dengan pemikiran asing yang menyesatkan.

Semoga umat semakin cerdas dan benar-benar paham dengan ajaran Islam yang seutuhnya sehingga dapat dimanivestasikan dalam bentuk pola pikir dan sikapnya sesuai tuntunan ajaran Islam, bukan berasal dari ajaran barat yang disifati dengan label Islam liberal, Islam moderat dan label lainnya yang sejatinya tidak mewakili Islam itu sendiri.*

Witta Saptarini S.E

Guru tinggal di Bandung, Jawa Barat

 


latestnews

View Full Version