View Full Version
Jum'at, 14 Feb 2020

Ilusi Solusi Toleransi Terowongan Silaturahmi

 

PROYEK renovasi Masjid Istiqlal yang sudah berlangsung sejak Mei 2019 menjadi sorotan. Hal ini sejalan dengan munculnya wacana pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang disetujui presiden RI. Terowongan tersebut digadang gadang merupakan simbol silaturahmi antar umat beragama.

Dilansir oleh suara.com 8/2, banyak tokoh mulai dari politikus hingga aktivis yang menyayangkan wacana tersebut. Tengku Zulkarnain misalnya. Ia terang terangan mengatakan pembangunan tersebut tidak terlalu berguna sebab jarak antara dua tempat ibadah yang sangat dekat. Kritikan lain juga datang dari sutradara, aktivis dan jurnalis, Dandhy Dwi Laksono yang mengatakan bahwa urusan toleransi bukan tak cukup diselesaikan dengan infrastruktur simbolik.

Ya. Perbedaan sukur, ras agama masih menjadi pemicu terjadinya konflik di tengah masyarakat. Melahirkan kelompok berlabel mayoritas - minoritas yang membuat gap/jurang pemisah semakin terlihat nyata. Slogan bhineka tunggal Ika yang kerap diopinikan sebagai ujung tombak kerukunan pun masih berakhir sebatas kata. Sehingga tak heran jika saat ini topik toleransi makin sering digaungkan untuk meredam konflik yang ada.

Hanya saja, realisasi toleransi dengan membangun terowongan yang menghubungkan 2 tempat ibadah adalah keputusan yang bisa dibilang sembrono. Pasalnya hal tersebut justru berpotensi mengusik syariat agama Islam yang mewajibkan umatnya untuk menjaga kesucian masjid dengan tidak mencampuradukkan hak dan batil.

Dari sini, jelaslah bahwa negara berpaham kapitalis sekuler tak pernah menjadikan agama sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan. Justru, ia terang terangan menerabas norma yang ada dan makin gila menunjukkan keberpihakannya pada liberalisasi agama.

Jika kondisi ini tetap dibiarkan, bukan tak mungkin celah pluralisme (anggapan bahwa semua agama sama) untuk mengkampanyekan diri semakin terbuka lebar. Padahal sebagaimana fatwa MUI, hal tersebut bertentangan dengan Islam sehingga haram pula bagi muslim untuk mengikutinya.

Indonesia, dengan predikatnya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar ternyata tak membuat Islam aman dari ragam serangan, baik internal maupun eksternal. Sudah menjadi kemafhuman bahwa fanatisme, taklid buta, bid’ah, dan khurafat  (kesyirikan) adalah tantangan internal yang masih dihadapi oleh kaum muslim. Namun, masuknya pluralisme ke dalam wacana pemikiran Islam juga menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya karena mampu meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.  Bahaya lain, keimanan kaum muslim yang mengamini paham tersebut terancam luntur tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain.

Dalam pandangan Islam, keberagaman/pluralitas adalah sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Namun berbeda penyikapannya dengan sistem sekuler yang memilih pluralisme berkedok toleransi sebagai solusi, Islam justru mengaplikasikan sikap toleransi secara riil untuk mengatasi masalah ini.

Sejarah telah mencatat bagaimana Islam menghargai keberagaman tanpa menciderai ibadah dan akidah Islam sebagai satu satunya agama yang benar. Adapun terhadap pemeluk agama lain, maka mereka tidak dipaksa sedikit pun untuk mengimani Islam. Bahkan, tetap dibebaskan untuk tetap menganut agamanya dan melaksanakan ibadah tanpa halangan. Tak hanya itu, negara Islam juga akan menjamin terpenuhinya hak-hak non-muslim sebagaimana negara memenuhi hak hak orang muslim.

Inilah mengapa penerapan Islam secara kaffah begitu urgent untuk diperjuangkan. Selain sebagai bukti ketaatan total seorang hamba kepada Pencipta, penerapannya mempu menghadirkan solusi yang komprehensif.

Maya A

Gresik, Jawa Timur


latestnews

View Full Version