View Full Version
Selasa, 18 Feb 2020

Salah Urus

Sahabat VOA-Islam...

Saat itu, saya ada janji dengan teman untuk pergi ke kenalan kami yang rumahnya tidak jauh dari rumah teman saya. Sebelum berangkat,  saya berusaha menyiapkan segala keperluan  termasuk motor kesayangan saya.

Setelah semua keperluan beres,  saya keluarkanlah motor dari dalam rumah untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan,  mulut ini tidak pernah lepas dari doa memohon kepada Allah SWT agar diberikan keselamatan dan kelancaran.

Hingga sampai di sebuah jalan yang tidak terlalu lebar tapi mobil-mobil lalu lalang di sana. Mata saya tertuju kepada seorang remaja laki-laki yang sedang duduk di depan sebuah toko dengan hanya menggunakan celana selutut.

Saya menduga dia buruh/kuli angkut di toko tersebut. Mengingat perawakan tubuhnya berbeda dengan pegawai toko yang lain, baik baju maupun  warna kulitnya. Secara, pegawai yang ada di toko tersebut bajunya rapi dan rata-rata berkulit kuning langsat bukan sawo matang.

Pandangan mata saya bukan semata-mata pandangan mata biasa,  tapi pandangan sebagai seorang ibu yang perduli dengan kondisi generasi bangsa ini. Dalam benak saya,  remaja dengan usia tersebut harusnya kalau tidak masih SMU ya sudah kuliah semester awal. Tapi faktanya tidak demikan, dia harus menelan pil pahit menjadi buruh/kuli guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemandangan yang saya lihat tadi benar-benar mengganggu pikiran saya, sepanjang jalan  menuju rumah teman, saya terus memikirkan hal itu. Terbayang olehku betapa negeriku ini amat sangat kaya akan sumber daya alamnya,  gemah ripah loh jinawi. Tapi kenapa tidak pas dengan fakta yang saya lihat tadi. Yangmana remaja kita menjadi buruh/kuli di negerinya sendiri. Lalu apa yang salah dengan hal ini?

Mungkin ada yang berfikir seperti ini. Tapi bagi saya pasti ada salah dengan hal ini. Kalau saya analogikan, ibarat keluarga yang punya tanah dan kolam yang sangat luas tapi mereka hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan mereka dikarenakan selama ini tanah dan kolam mereka digarap oleh tetangganya, adapun tetangganya mendapat keuntungan yang besar sedang keluarga empunya hanya diberi sedikit dari keuntungan yang didapatkan.

Tetangga bisa menyekolahkan anaknya hingga keluar negeri,  tapi anak si empunya jadi buruh di tanahnya sendiri. Pertanyaannya,  kenapa kok mau diurus oleh tetangga, tidak diurus sendiri? Alasannya klise, si empunya ga punya modal sedangkan ngurus itu semua butuh modal besar, memiliki banyak hutang, sehingga berat kalau diurus sendiri, dan hasilnya belum tentu didapat. Belum lagi iming-iming dari tetangga yang menggiurkan. Sehingga memikat si empunya untuk mau kerjasama.

Rasanya pas analogi di atas untuk menggambarkan kondisi negeri ini, demikian yang disampaikan ustadzah saya. Beliau juga menyampaikan bahwa permasalahannya yaitu terletak pada salah urus kekayaan alam yang hasilnya seharusnya dirasakan oleh rakyat baik seperti aspek jaminan pendidikan secara cuma-cuma mulai dari paud hingga perguruan tinggi (tanpa mikir uang kegiatan, LKS, dll),  kesehatan secara gratis tanpa harus bayar tiap bulan, infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan  tanpa bayar, keamanan terjamin karena negara memastikan dengan membentuk kesadaran rakyat untuk amar ma'ruf dan penegakan hukum secara tegas,  jaminan permenuhan kebutuhan hidup secara layak,  dan lain-lain.

Ini kalau diurus dengan Syariat Islam pasti bisa terwujud. Masalahnya rakyat mau tidak diurus secara benar sehingga kehidupan menjadi nikmat dan barokah. Sehingga tidak lagi kita jumpai generasi kita menjadi buruh/kuli tapi menjadi ulama-ulama besar, ilmuwan, dan negarawan yang mampu mengelola alam beserta kehidupan dengan cara yang benar sehingga mampu membawa kita memimpin peradaban dunia.

Benar juga apa yang disampaikan ustadzah saya, kita saat ini sudah hidup selama berpuluh-puluh tahun tapi kehidupan yang tenang,  tentram,  dan barokah tidak pernah kita dapatkan.

Banyak orang kaya,  tapi apakah hidup mereka barokah? Dimana harta mereka masih bercampur dengan harta riba. Rasanya sudah tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak menetapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Karena inilah jalan untuk meraih hidup barokah.

Kiriman dari Diah Indriastuti


latestnews

View Full Version