Oleh:
Indah Noviariesta
Aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)
DI MEDIA sosial marak sekali tuduhan yang dilontarkan kepada pihak yang tidak disukai sebagai kafir atau murtad. Kata lain yang disampaikan kepada pihak yang dianggap menyimpang dan sesat adalah “taqlid”, yakni orang yang percaya terhadap sesuatu tanpa didasari pengetahuan tentang subjek yang dipercayainya.
Sedangkan kata “ittiba” adalah mempercayai dan meyakini sesuatu tetapi memiliki pengetahuan mengenai subjek yang diyakininya. Dengan kata lain, orang yang melakukan ittiba tidak terburu-buru menerima kabar atau informasi tanpa didasari kroscek (tabayyun).
Membicarakan dan menyebarluaskan kejelekan orang lain, meskipun benar adanya, dalam ajaran Islam termasuk kategori bergunjing (ghibah). Hal itu tidak dibenarkan, kecuali untuk penegakan hukum dan nilai-nilai keadilan. Bahkan untuk menegakkan keadilan pun, ketika sang pelaku masih dalam status tersangka, cukup disebutkan nama inisial saja, tidak boleh nama yang sebenarnya.
Di sisi lain, membicarakan dan menyebarluaskan kejelekan orang lain, tetapi tidak benar adanya, jatuhnya sudah menebar fitnah. Kategori kedua ini yang justru sering kita temukan dalam kasus-kasus di infotainment atau media sosial, suatu kabar burung yang tanpa didasari kroscek dan tabayyun. Hanya ikut-ikutan semata, tetapi – tanpa disadari – pelakunya telah mengambil andil dalam menyemarakkan dosa dan kebohongan, yang dampaknya, cepat atau lambat, akan dirasakan oleh dirinya sendiri.
Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal prinsip-prinsip falsifikasi yang paralel dengan semangat tabayyun, analisis, riset dan penelitian. Beda dengan kepercayaan agama konservatif – terutama Kristen di abad pertengahan – yang berjalan tanpa membutuhkan falsifikasi. Karena itu, ketika seseorang mempercayai dan mengimani sesuatu, seakan-akan sudah taken for granted, tidak membutuhkan penolakan, penyangkalan, atau pertanyaan dan gugatan akan kebenarannya.
Prinsip falsifikasi ini telah membuat agama Islam berkibar secara gemilang di masa silam. Kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Taimiyah, Al-Farabi, Ibnu Khaldun dan banyak filosof dan ilmuwan besar yang kiprahnya diakui dunia. Prinsip falsifikasi ini pula yang dipegang-teguh oleh para bapak bangsa kita, hingga melahirkan konstitusi negara yang menjamin proses pendidikan dan pencerdasan bagi anak-anak bangsa. Di samping memelihara orang miskin dan anak telantar, membebasakan bangsa ini dari kebodohan dan kemiskinan adalah tugas suci negara yang harus dipegang-teguh oleh para pemimpin negeri ini.
Menurut data UNESCO pada 2016 lalu, tingkat literasi orang tua di Indonesia (65 tahun ke atas) mencapai 70,06 persen, tingkat literasi anak muda (15-24 tahun) mencapai 99,67 persen. Sedangkan tingkat partisipasi pendidikan dasar adalah 90,88 persen, pendidikan menengah 86,05 persen, dan pendidikan tinggi 27,94 persen. Berdasarkan data-data tersebut, Indonesia dapat dikatakan bukan negara terbelakang dari sisi pendidikan. Hampir semua anak mudanya melek huruf, walaupun belum mencapai sepertiga yang dapat menikmati perguruan tinggi. Tetapi paling tidak, tujuh dari sepuluh orang tua di negeri ini, pernah menduduki bangku sekolahan.
Apa yang saya paparkan di atas merupakan pencapaian yang bersifat kasatmata dari sisi pengajaran dan pendidikan formal. Sementara persoalan kebodohan dan kemiskinan adalah perkara lain. Faktanya, bisa kita saksikan sendiri bagaimana pola berbahasa yang digunakan masyarakat kita di media sosial, yang tak lain adalah cerminan dari kebodohan itu sendiri.
Media sosial adalah etalase pertama dalam menyaksikan bagaimana kebodohan dan kedunguan itu tampil bersamaan dengan menurunnya angka-angka buta aksara di negeri ini. Di media sosial kita bisa saksikan bagaimana ghibah dan fitnah seenaknya menyebar tanpa tendeng aling-aling. Melalui perangkat itu pula berhamburan kata-kata makian dan cemoohan kepada pihak lain yang dianggap bukan habitatnya: kafir, sesat, anjing, bedul, cebong, kampret, gak waras, wong edan, ahli jahannam, dan seterusnya.
Ada baiknya kita mengutip pernyataan seorang sejarawan Italia, Carlo Cipolla dalam bukunya “Hukum Dasar Kebodohan” (1976). Pada hukum dasar yang kelima Cipolla mengatakan bahwa orang bodoh itu adakalanya lebih membahayakan daripada bandit dan penjambret. Ia menjelaskan bahwa perbuatan seorang penjambret, meskipun mengambil hak orang secara paksa, namun ia tidak merugikan pihak lain selain pihak yang dijambret. Namun, kelakuan orang-orang bodoh, bukan saja merugikan banyak orang tetapi – mereka tidak menyadari – sebenarnya sedang mencelakakan dirinya sendiri.
Itulah mengapa banyak koruptor dari para pejabat dan birokrat kita, terbengong-bengong ketika dihadapkan ke tengah meja hijau. Mereka bukannya orang-orang tak berpendidikan. Sebagian mereka malah merasakan bangku perguruan tinggi hingga mencapai S2 dan S3 segala. Tetapi, seperti yang saya kemukakan di atas, perkara angka-angka statistik meningkatnya pengajaran dan pendidikan di negeri ini, tidak identik dengan menurunnya angka-angka kebodohan dan kemiskinan.
Contoh lain, ketika seorang politisi memfitnah rival politiknya sebagai “kafir” atau “PKI”, dia tahu bahwa perbuatannya itu akan mencelakakan orang lain. Si tertuduh boleh jadi akan rusak nama baiknya, keluarganya bisa berantakan. Tukang fitnah itu bisa saja menikmati kemenangannya selama beberapa waktu, tapi akhirnya dia harus menyadari bahwa negeri ini berdasarkan hukum yang dapat menjerat tukang fitnah itu sendiri karena perbuatan kejinya. Ironisnya, si pemfitnah itu ketika terkurung dalam jeruji besi, seakan masih belum menyadari bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain, dan juga merugikan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, hakikat kebodohan bukan lantaran kekurangan pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah formal, tetapi karena itikad pemerintah kita – bersama aparaturnya – belum sepenuhnya mengamalkan amanat dari konsitusi negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Celakanya, ketika sistem pendidikan yang dibangun, justru menggiring anak-anak didik kita agar terjerumus di kubang kebodohan dan lestarinya kemiskinan. Misalnya, ya itu tadi, para pengguna medsos di Indonesia terbukti bukanlah kaum buta huruf. Mereka orang-orang terdidik dan terpelajar, bahkan figur-figur yang dikenal sebagai kaum beragama dan pancasilais tulen.
Tapi mengapa mereka lebih mendahulukan sikap mempercayai sesuatu tanpa didasari pengetahuan? Mengapa mereka mengesampingkan akal sehatnya, dengan terburu-buru meyakini informasi yang tanpa disertai kroscek atau tabayyun? Bukankah kepercayaan dan keyakinan yang membabi-buta itu dapat menumpulkan nalar-nalar sehat yang memerdekakan akal budi? *