Oleh:
Siti Hajar, S.Pd.SD
MAY DAY yang diperingati sebagai hari buruh nasional belumlah tiba namun beberapa hari ini sejumlah ruas jalan -jalan ibukota dan di berbagai daerah di tanah air dipenuhi aksi unjuk rasa para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN). Mereka berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Omnibus Law sendiri adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana (wartaekonomi.co.id).
Kata omnibus law sendiri mulai santer diperbincangkan setelah Presiden Jokowi berpidato di sidang paripurna MPR pada 20 Oktober 2019. Sidang paripurna MPR dengan acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024. RUU Omnibus Law dikenal juga sebagai UU sapu jagat karena mengamandemen beberapa UU sekaligus. Ada 79 UU dan 1.244 pasal akan direvisi sekaligus. Draf RUU Cipta Lapangan Kerja sendiri berisi 1028 halaman yang mengatur hari dan jam kerja, upah, bonus, hingga pesangon. Target pemerintah, DPR mulai membahasnya pada pekan ketiga Januari 2020. Dan jika dalam 100 hari DPR bisa menuntaskan pembahasan Omnibus Law, maka presiden akan sangat mengapresiasi.
Namun demikian, Draf Omnibus Law Cipta ternyata memuat kebijakan yang sangat merugikan kalangan para buruh dan pekerja. Para buruh mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut dimana isinya dinilai akan semakin menurunkan kesejahteraan buruh dengan ditiadakannya kewajiban membayar pesangon, penghapusan peran serikat pekerja, mudahnya buruh di-PHK serta pemberlakuan upah hanya berdasarkan jam kerja.
Prinsip ekonomi kapitalisme yang memaksimalkan keuntungan dengan modal minimalis, terlihat jelas dalam RUU Omnibus Law. Adanya sistem gaji per jam bagi buruh, menjadikan para pemilik modal bisa mendapatkan pekerja yang sangat murah, jauh dari rasa manusiawi. Pekerja laksana sapi perah yang harus bekerja tanpa jeda untuk mendapat upah tinggi. Padahal, dengan sistem UMR saja masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini diketahui dari hasil survei ADB bahwa sebanyak 22 juta orang Indonesia kelaparan, sebagian besarnya adalah buruh (detik.com, 07/11/2019).
Namun dari semua itu, hal yang paling menakutkan dari Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah memungkinkannya bagi para perusahaan besar untuk merumahkan para buruhnya secara massal. PHK adalah momok yang sangat menakutkan menghantui para buruh dan pekerja di negeri ini. Dalam 5 tahun kepemimpinan Jokowi sebelumnya saja gelombang tsunami PHK massal masif terjadi apalagi jika RUU Omnibus Law Cipta Pekerja disahkan maka nasib para buruh semakin diujung tanduk. Kesejahteraan mereka terancam, pintu kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin terbuka lebar. Kesejahteraan dan rasa keadilan pun tidak lagi diraih karena mereka semakin termarjinalkan tanpa ada solusi yang tuntas dari pemerintah.
Era Revolusi industri 4.0 menuntut perusahaan untuk mampu berevolusi dan berinovasi agar tidak ketinggalan jaman. Era revolusi industri 4.0 juga memungkinkan para perusahaan besar untuk merumahkan massal para buruhnya, dimana tenaga manusia harus tergantikan oleh tenaga mesin untuk mengefisiensi pengeluaran. Menggaji karyawan dianggap paling membebani pembiayaan perusahaan, oleh karena itu tidak mengherankan jika nanti banyak perusahaan yang lebih memilih merumahkan pekerjanya untuk menekan biaya produksi. PHK massal jelas menjadi ancaman. Hal ini semakin diperkuat dengan RUU Omnibus Law Cipta pekerja untuk menekan para buruh dan pekerja.
Omnibus Law Cipta Pekerja jelas menguntungkan para Investor. Paket Draf RUU Omnibus Law Cipta Pekerja yang merupakan rancangan dari pemerintahan Rezim Jokowi sangat jelas keberpihakannya kepada kepentingan kaum Kapitalis dari pada kesejahteraan para pekerja dan buruh. Melalui kewenangan Omnibus Law Cipta rezim telah memangkas sejumlah undang-undang dengan dalih demi memperlancar investasi sementara rakyat dijadikan korban dan menzalimi hak-hak para pekerja. Maka semakin jelaslah bahwa sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi para buruh dan pekerja.
Berbeda dengan sistem Islam, islam akan menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat sampai pada level individu. Penguasa dalam sistem islam berkewajiban membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat yang membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai realisasi dari politik ekonomi islam. Dalam islam sumber daya alam yakni air, padang rumput dan api dipandang sebagai bentuk kepemilikan umum yang pengelolaannya wajib dikelola oleh negara.
Untuk pengelolaan sumber daya alam, negara akan membuka industri-industri yang tentunya akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Iklim investasi dan usaha dirangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi yang sederhana dan tanpa pajak serta melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat. Rakyat produktif, keadilan dan kesejahteraan diraih serta masalah pengangguran pun teratasi. Hal itu hanya bisa diraih jika mekanisme aturan Allah dalam sistem ekonomi yang digunakan. Wallahua’lam bishawwab.*