Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Katanya rakyat berdaulat dan menjadi penentu kebijakan negara. Maklum negara demokrasi. Akan tetapi prakteknya justru sering bertolak belakang. Rakyat tidak dihormati, dijerat, bahkan selalu dibohongi.
Dianggap bodoh dan tidak tahu apa apa. Kasus kasus politik atau hukum sering menjadi sarana pembodohan tersebut. Hal ini terindikasi dari keanehan keanehan yang terjadi.
Pertama, BLBI dan Century yang buram. Sementara para perampok uang negara masih bisa melambai lambaikan tangan mengejek aparat, pejabat, dan rakyat.
Kedua, kasus sebelum, saat, dan setelah pemilu dimana ratusan orang tewas tanpa pengusutan dan kejelasan baik sebab dan tindakan, apalagi sanksi hukum.
Ketiga, kasus berkepanjangan dan puncaknya penangkapan dua polisi aktif penyiram air keras ke muka Novel Baswedan. Sudah berapa waktu tak jelas tahapan proses hukumnya. Ruang pengadilan masih kosong.
Keempat, sangat mencolok pelaku penusukan Menko Polhukam saat itu Wiranto. Pelaku pasangan "celana cingkrang" dan "cadar" yang tertangkap tangan, hilang kini kemana rimbanya.
Kelima, politisi PDIP Harun Masiku yang bukan orang "asing" ternyata bisa sembunyi, disembunyikan, atau dihilangkan di depan jutaan mata yang memperhatikan. Masiku yang hebat atau kita yang dibodohi.
Kasus kasus di atas sekedar contoh saja bahwa daulat rakyat dan daulat hukum masih menjadi fatamorgana. Daulat penentu politik jauh lebih nyata dan berkuasa. Sangat mampu merekayasa.
Perekayasa hebatnya bermantel Pancasila. Rakyat yang dibodohi diberi predikat radikal dan sejenisnya. Dimusuhi dan dianggap tidak faham akan ideologi negara. Harus segera dibuat proyek pembinaan dengan segala metode dari penataran hingga permainan, termasuk nyanyi dan tari ber tiktok.
Ketika rakyat yang ingin kaya disarankan "cari racun kalajengking", ketika Menteri berujar saat harga beras naik "jangan banyak makan dan diet", ketika pula ditemukan cacing dalam ikan makarel Menkes bilang "cacing aman mengandung protein", atau ketika harga cabai meroket rakyat disuruh menanam cabai sendiri "tak usah beli di pasar", maka apakah ketika rakyat merasa dibodohi atas berbagai peristiwa yang terjadi maka harus dinyatakan kepadanya "ya jangan mau jadi rakyat" ?.
Memang rakyat itu gudangnya salah. Yang pintar dan selalu benar adalah yang "bukan rakyat". Bapak pejabat, anda super sekali.