View Full Version
Selasa, 03 Mar 2020

Merampok Rakyat atas Nama Pajak

 

Oleh:

Choirummintin Wulandari, SP

 

APA yang dilakukan seseorang jika di dompetnya tidak ada uang sepeserpun? Pasti ia akan mencari uang bahkan yang recehan sekalipun di saku baju atau di saku celana yang paling kecil, jika tidak ditemukan juga maka ia akan mencoba terus mencari bahkan di tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumya. Seperti itulah barangkali kondisi keuangan Indonesia hari ini. Menteri Keuangan, Sri Mulyani memahami kondisi ini. Segala cara dilakukan Sri Mulyani demi meningkatkan pendapatan negara sampai berisiko untuk diserang berbagai pihak.

Ternyata yang dilakukan Sri Mulyani untuk menyelamatkan keuangan negara tidak cukup. Ia juga pernah menaikkan cukai rokok, tarif BPJS, LPG, BBM, dan tarif dasar listrik. Tapi semua itu masih saja tidak cukup sampai akhir ia harus menempuh lagi kebijakan yang lebih-lebih tidak populis seperti cukai untuk online shop, kantong plastik, serta cukai asap knalpot. Kali ini, dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 19 Februari 2020 ia  mengusulkan penerapan cukai minuman dengan pemanis (29/2/2020, fokus.tempo.co). Pemungutan cukai terhadap minuman dengan pemanis dianggap akan sangat membantu defisit keuangan negara. Potensi pendapatan negara dari teh kemasan dan minuman ringan berpemanis misalnya mencapai Rp 6,25 triliun.

Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan alias Asrim, Triyono Prijosoesilo mengatakan bahwa, penerapan cukai minuman dengan pemanis akan menjadi pukulan telak bagi industri dan akan berdampak negatif pada pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Menurutnya, tanpa pungutan cukai pun industri minuman ringan sedang loyo. Dibandingkan lima tahun lalu, pertumbuhan permintaan minuman manis tak bisa lebih dari 10 persen, hanya sekitar 2 persen. Dengan adanya penerapan tarif cukai itu, dapat dipastikan harga produk di tingkat konsumen juga aka naik (29/2/2020, fokus.tempo.co).

Menteri Keuangan Sri Mulyani terobsesi mengendalikan diabetes, penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam tubuh. Karena itulah dia berencana mengenakan cukai pada sumber-sumber gula yang beredar di tengah masyarakat seperti teh kemasan dan minuman berkarbonasi (28/2/20, tirto.id). Alasan pengenaan cukai tak relevan mengurangi prevalensi diabetes. Sebab, menurut studi yang dilakukan Asrim, minuman siap saji hanya berkontribusi kurang dari tujuh persen dari total konsumsi kalori konsumen Indonesia, sehingga bukan merupakan kontributor utama.

Perlu diketahui bahwa Pemerintah Jokowi-JK menargetkan penerimaan perpajakan pada 2020 sebesar Rp 1.861,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Bersamaan dengan angka tersebut, rasio perpajakan atau tax ratio ditargetkan sebesar 11,5 persen (29/2/2020, Liputan6.com) Seperti diketahui, penerimaan perpajakan hanya mencapai Rp1.545,3 triliun sepanjang 2019. Realisasi itu hanya setara 86,5 persen dari target Rp1.786,4 triliun, sehingga shortfall mencapai Rp 241,1 triliun. Fakta inilah yang menjadikan Sri Mulyani sangat gencar mencari sumber pendapatan negara meskipun merogoh kantong rakyat kecil. Ia persis seperti Menteri Keuangan Prancis di bawah Raja Louis XV, Étienne de Silhouette yang begitu brutal menarik pajak rakyat.

APBN Negara yang menganut asas defisit anggaran. Hal ini Nampak dari komposisi pemasukan dan belanja negara. Belanja negara sebesar Rp 2.540,4 triliyun sementara pemasukan negara hanya sebesar Rp 2.233,2 triliyun. Pungutan pajak untuk menutupi defisit anggaran menjadi hal yang mutlak.  Dalam APBN 2020, telah dirumuskan strategi pajak salah satunya adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hal ini dibuktikan dengan melantik tiga staf ahli baru di bidang perpajakan dan pengeluaran negara. Selain tiga staf ahli, Sri Mulyani juga menambah empat pejabat di Inspektorat Jenderal. Semuanya bertugas untuk menarik pajak rakyat.

Atas kondisi tersebut, tentu rakyat sudah pantas marah. Meski faktanya, mereka tak lagi punya energi selain untuk pasrah. Kenapa layak marah? Karena mereka melihat, bahwa keadaan tak seharusnya demikian. Negeri yang Allah berikan anugerah berupa kekayaan alam melimpah nyatanya menjadi negara yang mengemis pada rakyat kecil. Tidak sekedar mengemis, tapi merampok. Bagaimana tidak, beban rakyat hari ini sudah terlalu berat. Belenggu pajak serta naiknya biaya berbagai macam kebutuhan hidup membuat rakyat semakin tercekik. Segala bentuk kesemrawutan ini senyatanya adalah tersebab kesalahan pengurusan.

Sepanjang negeri ini menerapkan sistem kapitalis neoliberal, negara memang dipastikan tak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan. Yang terjadi justru negara makin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Karena bagi kapitalisme peran negara justru harus diminimalisir. Negara dengan sistem ini bahkan akan menjadi sumber dan pelaku kezaliman utama atas rakyatnya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asysyura [42]: 42).

Sistem ekonomi Islam, berbeda jauh dengan sistem kapitalisme neoliberal. Islam dengan tegas memilah soal kepemilikan. Semua sumber kekayaan alam yang tak terbatas, ditetapkan sebagai milik rakyat. Dan negara wajib menjaga dan mengelolanya demi kepentingan rakyat, tak boleh menyerahkannya kepada siapapun apalagi pihak asing. Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Dia hanya dipungut saat kas negara kosong dan dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi tidak dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang.

Dan manakala problem kekosongan kas negara tadi sudah teratasi, maka pajak pun harus dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman. Bahkan pajak, akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan. Demikian indah aturan Islam tentang negara dan kekuasaan. Dan bagaimana hubungan antara keduanya dengan rakyat sebagai pemilik kewarganegaraan? Dimensi ruhiyah yang ada pada aturan Islam tentang negara dan kekuasaan terbukti telah menghantarkan umat ini pada taraf kehidupan yang gemilang. Bahkan telah menjadikan umat Islam sebagai pionir peradaban selama belasan abad lamanya.

Pungutan pajak yang terus terjadi membuktikan bahwa negara dengan sistem kapitalisme telah gagal memberikan kesejahteraan. Alih-alih menyejahterakan, negara justru merampok harta rakyat dengan berbagai macam dalih untuk dibenarkan. Jika ingin terlepas dari belenggu pajak maka negara ini harus berani banting setir. Beralih ke sistem ekonomi Islam yang tidak hanya memiliki mekanisme yang jelas, tapi juga adil.*


latestnews

View Full Version