Oleh:
Hafis Azhari
Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
SEORANG ulama sufi terkemuka, Abdul Wahab As-Syarani, dalam bukunya al-Minahus Saniyyah, membahas tentang zuhud yang diartikan sebagai suatu sikap dan prinsip hidup yang meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi. Hal itu tidak identik dengan memilih hidup miskin dan melarat, menolak modernitas, lalu mengisolasi diri dari keramaian.
Dalam pengertian yang lebih jauh, sikap seorang zuhud diibaratkan orang yang sudah menggenggam dunia, sudah mengenal dirinya, melampaui kenikmatan badani, hingga tidak ada hasrat terhadap kepemilikan dunia yang berlebihan, karena ‘kemakmuran awal’ sudah dilewatinya. Seorang pemimpin yang berjiwa zuhud akan sanggup memaknai hakikat kepemimpinan yang sesungguhnya. Dalam hatinya sudah terpasang rem otomatis, hingga tidak ada keinginan yang berlebihan untuk menumpuk-numpuk kekayaan duniawi. Pemimpin seperti itulah yang memahami tugas kepemimpinannya untuk mencintai dan melayani rakyat.
Kemungkinan hadirnya para wartawan pada saat dia blusukan, sah-sah saja, tapi bukanlah publisitas yang menjadi tujuannya pada saat melayani kepentingan umat. Tentu saja tipikal seperti itu berbeda dengan penguasa kabupaten Hulu Sungai Tengah (Kalsel), beberapa waktu lalu. Dalam kasus gratifikasi yang diterimanya, dari 23 unit kendaraan yang disita KPK, di antaranya Lexus, Cadillac, BMW, Rubicon, Hummer, juga 8 motor gede dan 4 Harley Davidson. Pejabat dan politisi semacam itu, kekayaannya sudah menumpuk, bahkan melimpah, tetapi jiwanya tetap kerdil dan miskin, nelangsa dan merasa kekurangan selalu.
Di sisi lain, dalam buku al-Minahus Saniyyah dikisahkan juga mengenai perempuan miskin yang memilih hidup menyendiri, jauh dari kenikmatan duniawi, terus-menerus ibadah semalam suntuk, namun hatinya belum juga menyentuh jiwa seorang zahidah. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan zuhud adalah persoalan kesederhanaan hidup yang berhubungan dengan hati, tidak identik dengan memilih hidup fakir atau miskin selamanya.
Alkisah, perempuan miskin itu tidak memiliki apa-apa di rumahnya. Para tetangga menyaksikan tidak adanya barang berharga sama sekali. Hanya ember besar dan persediaan air wudlu untuk melaksanakan salat malam. Baginya, ember dan persediaan air itu adalah kekayaan yang paling berharga dalam hidupnya. Ya, bukankah kesucian menjalankan ibadah adalah pangkal utama yang mengantarkannya ke jalan surga. Ia ingin salatnya bersih, suci, khusuk, dan karenanya Tuhan akan menggolongkannya bersama orang-orang saleh dan salehah di surga firdaus kelak. Ia merasa yakin amal perbuatannya itu pasti akan diganjar dengan pahala melimpah, ketimbang kekayaan duniawi yang bersifat fana dan semu.
Tapi apakah keyakinan perempuan miskin itu sudah menjadi jaminan atas sikap zuhud yang dibanggakannya? Ulama sufi Abdul Wahab As-Syarani mengisahkan lebih lanjut bahwa, perempuan miskin itu ternyata menyimpan rasa dengki dan amarah di hatinya, ketika suatu hari melihat seseorang mengambil air dari embernya. Ia merasa tidak ikhlas terhadap orang yang membutuhkan air itu, karena menurutnya, orang itu telah mengambil haknya atas pahala surga, hingga ia tak bisa melaksanakan salat malam lantaran airnya yang tinggal sedikit.
Perempuan yang mendengki itu – seperti yang dijelaskan dalam buku al-Minahus-Saniyyah – tidak dapat meraih kenikmatan surga setelah wafatnya, karena ketidak-ikhlasannya menerima kemiskinan dalam hidupnya. Dari kisah ini nampak bahwa ketidak-ikhlasannya adalah peringatan bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan (zuhud), melainkan karena dipaksa oleh keadaan.
Sebagai pembanding dari riwayat wanita miskin tersebut, Abdul Wahab As-Syarani menceritakan kisah seorang hartawan yang berjiwa zuhud, yang juga merupakan antitesa dari pejabat dan politisi korup yang saya gambarkan di atas. Lelaki hartawan ini (sebut saja Fulan) menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tidak membuatnya larut dalam kehidupan hedonis yang meninabobokan. Dengan anugerah kekayaannya, ia rajin bersedekah dan berinfak untuk kemaslahatan umat. Apa yang dinikmatinya semata-mata untuk kebutuhan hidup keluarga, selebihnya dimanfaatkan untuk menunjang keberadaan dirinya dalam meraih ridho Allah Swt.
Sikap dan prinsip hidup yang dijalani Fulan ini tidak dimiliki oleh perempuan miskin yang berkekurangan, namun menjerumuskan hatinya pada cinta duniawi dan kebendaan. Pandangan hidup itu pun sama sekali bertolak-belakang dengan sang pejabat dan politisi yang menerima gratifikasi di atas. Hidupnya sudah kaya-raya dan berkelimpahan, namun gaya hidupnya yang dan serakah hedonis, menutup mata-hatinya untuk bersikap empati kepada fakir-miskin yang lebih membutuhkan. Kekayaan melimpah yang dimilikinya masih saja membuat hatinya miskin dan serba kekurangan.
Dengan demikian, sikap zuhud pada hakikatnya tidak identik dengan hidup serba miskin dan kekurangan. Ada orang yang miskin namun juga jiwanya tetap miskin. Ada orang yang kaya-raya dan hidup berkelimpahan, tapi jiwanya tetap merasa miskin, dan selalu ingin meraup keuntungan dengan berbagai macam cara. Namun di sisi lain, ada juga orang yang kaya-raya dan hidup berkecukupan, namun gaya hidupnya sederhana, hingga memudahkan jalannya untuk berbagi dan mengasihi para fakir-miskin yang membutuhkan. *