View Full Version
Sabtu, 21 Mar 2020

Indonesia "Top Scorer" Corona, Bagaimana Solusi Islam?

 

Oleh:

dr. Ifa Mufida

Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik

 

HARUSKAH Indonesia bangga dan bahagia? Indonesia telah menduduki top scorer corona di dunia. Jumlah pasien positif virus corona per Jumat (20/3), bertambah menjadi 369 orang. Sebanyak 32 orang di antaranya meninggal dunia, dan 17 orang dinyatakan sembuh. Dengan demikian, Indonesia disebut sebagai negara dengan presentase kematian tertinggi yaitu mencapai 8,37 persen, melebihi Italia yang 8,34 persen. 

Sudah sejak tanggal 12 Maret, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah meningkatkan status Corona atau Covid-19 secara global menjadi Pandemi. Pemerintah Indonesia diharapkan ikut meningkatkan kewaspadaan terutama dalam hal mencegah penyebaran kasus. Konteks pandemi mengisyaratkan kepada seluruh dunia bahwa penyakit Covid-19 bisa menyerang negara mana saja. Terlebih virus ini merupakan virus baru yang belum diketahui karakternya. 

Namun, nampaknya hal ini tidak membuat Indonesia gentar. Indonesia dengan pejabatnya yang apatis dan mental rakyat Indonesia yang memang tidak dididik secara benar oleh negara memiliki andil besar dengan capaian top scorer tersebut. Benarkah pejabat Indonesia apatis? Coba lihat saja, ketika awal mula virus ini muncul di Wuhan, pemerintah tidak secara sigap melakukan bupaya lockdown berbagai macam kegiatan “moving” dari china ke Indonesia. Bahkan masih membuka akses ke tempat pariwisata. Banyak rakyat yang berusaha atas sikap anomali pemerintah namun mereka tak mau peduli. Lebih mengkhawatirkan untung rugi dari pada keselamatan rakyat. 

Kemudian, mereka juga sangat santai dengan merebaknya virus ini. Bahkan pejabat kita begitu mudah memberikan komentar tanpa berdasarkan ilmu di hadapan publik. Mulai dari minum jamu, minum susu kuda liar, makan nasi kucing, hingga corona self limiting desease. Pemerintah bahkan lebih sibuk mengurusi sektor pariwisata daripada sibuk menyelamatkan nyawa rakyatnya. Padahal setiap hari update pasien corona menunjukkan peningkatan signifikan. Ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif corona, barulah pemerintah sedikit tersadar. Hingga beberapa sudah menarik diri dari kamera wartawan.

Pejabat juga tidak peduli dengan teriakan dari tenaga medis di nusantara yang saat ini mereka sudah mengalami over pasien dengan dugaan corona, sering disebut ODP (orang dengan pemantauan). ODP pun tidak semua bisa dilakukan deteksi swab tenggorokan untuk memastikan dia positif covid-19 apa tidak. Banyak yang akhirnya hanya diisolasi di rumah. Kondisi ini masih dalam titik awal. Belum pada posisi puncak penyakit. Sedang tenaga medis tersebut berperang tanpa senjata. Mereka tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai. Sangat riskan tertular dan juga riskan menjadi karrier yang akan menularkan kepada orang lain. Sangat mengkhawatirkan. 

Selain pula, banyak analisa dari beberapa akademisi menyebutkan bahwa penyebab  angka kematian di Indonesia tinggi adalah karena banyak pasien yang belum terdeteksi, atau dengan kata lain tidak ada dana untuk mendeteksi. Bagaimana tidak, semua pemeriksaan tersebut diserahkan kepada masing-masing rakyat. Bukannya ditanggung oleh negara. Terlebih pemeriksaan covid-19  nampaknya tidak semua rakyat bisa membayarnya. Cukup mahal terlebih bagi mereka yang hanya untuk sekedar makan saja sulit. 

Rapid test, kini menjadi langkah yang diambil pemerintah. Sebagaimana dilansir oleh banyak media, pemerintah akan menyiapkan satu juta alat tes cepat (rapid test) virus korona (covid-19). Alat tersebut dikirim secara bertahap sejak Jumat, 20 Maret 2020. Sepertinya Indonesia ingin mencontoh langkah Korea menanggulangi Corona. Pemerintah memilih langkah ini meskipun rapid test memiliki nilai akurasi yang rendah, bahkan di bawah 50 persen. Yang jauh lebih penting, sudahkan pemerintah siap jika hasil tes ini keluar? Siap dengan fasilitas medisnya? Siap dengan mengobati sekian penderita yang terdeteksi? Siap melakukan karantina untuk mereka? Siap dengan SDM medis yang merawatnya? Sangat disanksikan, selama ini saja tenaga medis tidak mendapatkan bantuan bahkan sekadar tersedianya alat pelindung diri (APD). 

Demikianlah, Sampai detik ini Presiden Jokowi belum memilih untuk melakukan lockdown. Meskipun pilihan ini sebenarnya sudah  sangat terlambat. Harusnya hal ini sudah dilakukan Indonesia sejak januari lalu ketika di China mewabah corona. Dengan lockdown berupa larangan tegas masuknya WNA ke Indonesia, termasuk melarang tenaga kerja china keluar masuk Indonesia. Namun apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Kini Indonesia sedang darurat Corona. 

Direktur Jenderal World Health Organization (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan jika penanganan COVID-19 harus secara komprehensif dilakukan oleh setiap negara. Menurutnya, penerapan pembatasan sosial atau social distancing tidaklah cukup dalam mengatasi penularan penyakit yang disebabkan oleh virus corona, hal tersebut ia sampaikan kepada media pada Senin (16/03/2020). (tirto.id). 

Tedros juga mengatakan penerapan social distancing seperti meliburkan sekolah dan pembatalan kegiatan olahraga untuk mengendalikan penyebaran virus corona belakangan meningkat. Tindakan pembatasan sosial dapat membantu mengurangi penularan dan memungkinkan sistem kesehatan untuk mengatasinya. Namun, itu saja tidak cukup untuk menumpas pandemi ini. Cara paling efektif untuk mencegah infeksi dan menyelamatkan jiwa adalah harus melakukan pendekatan secara komprehensif dengan memutus rantai penularan. Oleh karena itu, melakukan pemeriksaan dan karantina perlu dilakukan. 

Jadi, menurut sistem keilmuan saat ini konsep lockdown sejatinya adalah konsep yang harus dipilih untuk menanggulangi pandemi covid-19. Namun, tetap saja Indonesia menolak. Sepertinya, Indonesia tak siap menghadapi situasi ini. Pengeluaran pasti membengkak. Belum lagi beban utang yang kian melambung. Hingga Januari 2020, utang Indonesia mencapai 410,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 5.612 triliun. Dan kini, rupiah makin melemah menembus angka Rp 15.000. Bukankah ini pertanda kas negara sedang krisis? Miris, Indonesia yang kaya raya nyatanya saat ini sedang diserang penyakit yang cukup komplikatif. Jangan sampai corona mempercepat ajalnya. 

Butuh obat yang ampuh untuk Indonesia. Obat ini meliputi dua hal. Pertama, Indonesia membutuhkan pemimpin yang negarawan. Pemimpin yang mampu menjadi perisai (pelindung) untuk rakyatnya. Pemimpin yang memiliki konsep yang benar ketika memandang sesuatu serta bisa menarik hati umat untuk taat dan cinta kepadanya. Pemimpin yang seperti ini sangat penting, terlebih ketika negara dalam kondisi yang tidak stabil. 

Kedua, Indonesia butuh sebuah sistem yang bisa menjamin pemimpin tersebut bisa melaksanakan tugasnya secara benar. Sistem yang benar hanyalah sistem yang berasal dari Allah SWT. Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maka sejatinya Islam ada untuk menjadi solusi terhadap semua permasalahan manusia, tak membedakan muslim ataukah non muslim. 

Di dalam kondisi darurat corona seperti saat ini. Islam memiliki konsep yang jelas untuk menyelesaikannya. Lockdown adalah konsep yang sudah dikenal di dalam Islam sebagai upaya menanggulani penyakit yang sedang mewabah. Sebagaimana hadist, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Namun konsep ini saat itu berhasil karena didukung oleh pemimpin yang negarawan dan negara yang menerapkan sistem politik ekonomi Islam. 

Lockdown dipastikan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat dalam “sementara” waktu.  Maka sistem lockdown harus didiringi dengan pengurusan negara terharap rakyat secara totalitas. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut. 

Pertama, Negara harus memberikan pemahaman secara utuh dan menyeluruh kepada rakyat tentang pentingnya lockdown, bahkan memberikan sanksi bagi anggota masyarakat yang masih berada di luar melakukan aktivitas. 

Kedua, Pemerintah harus menjamin kebutuhan pokok masyarakat selama proses lockdown tersebut, terutama kebutuhan pangan. Karena mereka tidak diperbolehkan keluar rumah maka negara menyipakan satgas khusus untuk bisa membantu distribusi makanan tersebut. Pasti ini membutuhkan pembiayaan yang besar. Negara islam mempunyai anggaran berbasis baitul mal dan bersifat mutlak. Jika pada kondisi kas negara kosong, maka seorang pemimpin negara Islam bisa mengambil pajak temporer kepada rakyat mislim yang kaya sesuai dengan anggaran yang dibutuhkan. Hal ini akan sangat mudah ditarik jika pemimpin tersebut adalah pemimpin yang dicintai oleh umat. 

Demikianlah, segala penderitaan dan kerusakan termasuk mewabahnya virus corona harusnya menjadikan manusia mau untuk bermuhasabah.  Corona, harusnya menjadikan manusia tersadarkan dan bersegera kepada ampunan Allah SWT. Bersegera kembali kepada aturan Allah SWT secara totalitas. Wallahu A’lam bi showab.*


latestnews

View Full Version