Oleh:
Ummu Farras (Aktivis Muslimah)
PANDEMI Covid-19 terus memakan korban. Data terakhir menunjukkan korban positif bertambah banyak hingga 579 orang, dengan korban meninggal 49 jiwa. Bahkan, para dokter pun sudah banyak yang menjadi korban Virus corona ini. Dilansir dari CNNIndonesia.com, Tiga dokter dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar virus Corona SARS-COV-2 penyebab COVID-19, Sabtu (21/3). Ketiga dokter itu adalah dr Adi Mirsa Putra asal Bekasi, dr Djoko Judodjoko asal Bogor, dan dr Hadio dari Bintaro, Jakarta Selatan.
Tak dapat dipungkiri, penanganan penyebaran virus corona oleh pemerintah dinilai sangat lamban dan tidak terstruktur. Hingga saat ini, di tengah wabah yang semakin meluas dan korban semakin banyak, langkah yang dilakukan pemerintah nyatanya tak dapat efektif menanggulangi penyebaran pandemi ini. Langkah yang diambil pemerintah sejauh ini adalah social distancing, rapid test, impor obat obat-obatan yaitu Avigan (obat flu) dan Chloroquin yang notabene obat malaria namun diduga bakal bisa mengobati penyakit karena wabah Covid-19, serta solusi menyulap wisma atlet kemayoran jadi RS Darurat Corona. Sedangkan untuk langkah lockdown yang dinilai paling efektif menurut para ahli bagi masyarakat, pemerintah sudah menyatakan tidak akan melakukan lockdown di tengah penyebaran pandemi yang kian masif ini. Hal ini disampaikan oleh Kepala BNPB sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo. Doni menyatakan Jokowi telah memberikan instruksi kepada dirinya untuk tidak mengambil langkah lockdown. Menurutnya, pernyataan itu sudah menjadi keputusan pemerintah Indonesia.(detik.com)
Juru Bicara Jokowi, Fadjroel Rachman mengungkapkan alasan Jokowi hingga saat ini belum memutuskan lockdown, karena kebijakan lockdown tersebut merupakan kebijakan coba-coba dan tak terukur. Jokowi pun lebih memilih pembatasan sosial (sosial distance). Permasalahan lockdown ini lantas menjadi polemik di antara masyarakat. Benarkah lockdown adalah kebijakan yang coba-coba dan tak terukur? Ataukah ini hanya narasi untuk mengalihkan alasan yang sebenarnya? Padahal langkah social distancing saat ini nyatanya tak efektif dan masih banyak masyarakat yang wara wiri karena tak ada peran tegas dan pendampingan serta tanggung jawab penuh dari pemerintah terhadap kebijakan social distancing tersebut. Masyarakat level menengah dan pekerja formal bisa saja menjalani masa social distancing-nya dengan tenang. Namun, bagaimana dengan sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor informal atau yang pendapatannya tidak menentu? Siapa yang memastikan keselamatan mereka? Siapa yang menjamin pemenuhan hajat hidup mereka dan keluarganya? Tentu pemerintah dan presiden tak bakal sanggup memenuhi itu semua.
Bahkan, bisa jadi karena ketidakmampuan pemerintah menanggung risiko ekonomi dan kebutuhan rakyatnya, yang menjadi alasan utama untuk tidak melakukan lockdown hingga saat ini.
Kebijakan Lockdown Rezim Kapitalis
Kebijakan lockdown saat ini amat dinantikan oleh masyarakat di semua lapisan. Diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Di tengah berjatuhannya korban jiwa karena wabah corona, termasuk para petugas medis yang tak gentar berjibaku merawat pasien Covid-19, Menurut Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban, pihaknya setuju jika lockdown diterapkan. IDI memahami pemerintah alergi dengan istilah lockdown. Maka tak masalah Jokowi tak menggunakan istilah lockdown, tapi penerapannya sama yaitu membatasi bahkan mengisolasi warga di rumah.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio pun menegaskan sudah saatnya pemerintah melakukan lockdown. Saat ini kesehatan dan keselamatan masyarakat menurutnya sangat penting, dia menilai dengan lockdown justru virus corona dapat lebih mudah ditangani. Ia pun menyatakan pemerintah jangan dulu melihat dampak perekonomian, karena pemulihan negara dari virus corona harus diprioritaskan.
Inilah bukti pemerintah dalam sistem kapitalis jelas abai dan lalai terhadap pengurusan rakyatnya. Masalah pengurusan rakyat di tengah pandemi seperti ini pun masih berpikir untung rugi. Kekhawatiran penguasa terhadap dampak ekonomi yang bakal down jika mengambil kebijakan lockdown, lebih besar daripada kekhawatiran terhadap hilangnya nyawa rakyat karena virus corona. Padahal, mau lockdown ataupun tidak, faktanya ekonomi Indonesia memang sudah ambrol. Opsi lockdown ini seharusnya tak jadi persoalan bagi pemerintah, karena ini menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Masa sama rakyat hitung hitungan? Kalau dana negara tak dipakai untuk keperluan rakyat, lalu dipakai untuk apa?
Pemerintah saat ini terlihat "bubrah" hadapi wabah. Ini karena sistem kapitalis yang meniscayakan kepentingan rakyat bukan lagi hal yang patut diutamakan. Sebaliknya, kepentingan terhadap asing dan investor para pemilik modal yang harus diutamakan. Pemerintah bukan lagi berfungsi sebagai orang yang melayani rakyat, tapi hanya sebagai regulator dan fasilitator untuk para pemilik modal. Buktinya di tengah pandemi yang mengancam nyawa ini, pemerintah masih enggan bahkan tegas menyatakan tidak akan lockdown. Karena konsekuensi lockdown yang mengharuskan pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat selama lockdown dari pandemi amat berat bagi negeri kapitalis yang tak terbiasa berpihak kepada rakyat. Mesti mikir beribu kali untuk menggelontorkan dana bagi kemaslahatan rakyat. Terbukti, racun kapitalis lebih berbahaya dari virus corona. Jika virus corona dapat membuat manusia kehilangan nyawa, virus kapitalis dapat menjadikan manusia kehilangan hati bahkan mematikan hati manusia. Na'udzubillahi min dzalik.
Lockdown Hukumnya Wajib
Tak dapat dipungkiri, kebijakan lockdown pasti akan berdampak pada ekonomi. Perekonomian akan terpuruk. Itu hampir pasti. Tapi, terkait amanah seorang pemimpin terhadap rakyatnya, amat besar pertanggungjawabannya di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam negara Islam (Khilafah), seorang pemimpin (Khalifah) bertanggung jawab atas seluruh permasalahan rakyatnya. Termasuk kesehatannya. Kemaslahatan rakyat yang paling utama. Tidak seperti negeri kapitalis yang lebih mengutamakan permasalahan ekonomi (materi) dibandingkan nyawa rakyatnya.
Menurut penjelasan Syeikh Hafidz Abdurrahman, Dalam permasalahan wabah seperti ini, mencegah bahaya (mudarat) itu lebih penting. Bahaya (mudarat) yang mengancam nyawa itu nomer satu. Karena itu, sampai Nabi menyebut
لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل المرء المسلم
Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, ketimbang terbunuhnya nyawa seorang Muslim.
Maka, tindakan Islam tegas dan disiplin. Nabi marah besar, ketika ada dua orang yang mendahului rombongan pasukan, kemudian sudah dilarang meminum air yang sedikit di sumber airnya, tapi tetap saja diminum. Karena tindakan dua orang itu membahayakan semua pasukan.
Dalam konteks pandemi, haditsnya juga sudah jelas. Lockdown. Jangan memasuki wilayah pandemi. Jangan juga keluar dari sana, kecuali untuk berobat. Jelas, dan tegas.
Mengenai perekonomian, tak usah khawatir, Allah SWT sudah mengatur semuanya. Selama negeri menerapkan syariat Islam sebagai satu satunya sistem yang mengatur segala problematika umat, Allah pasti akan menjadikan negeri itu sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. InsyaAllah. Wallahu'alam bishawwab.*