Oleh: Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Tekanan dan desakan untuk mengambil kebijakan lockdown semakin menguat. Jika terus berjatuhan korban virus corona, maka lockdown secara nasional mungkin dilakukan.
Persoalan yang muncul adalah orang yang "dikunci" tidak keluar rumah itu tidak semuanya mampu memenuhi kebutuhan sehari hari. Kasarnya bisa bisa kelaparan.
Berbeda dengan China, Korea Selatan, atau Italia, rakyat Indonesia sebagian besar masih dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Terlebih bila tidak melakukan aktivitas pekerjaan "harian" di luar rumah. Pemerintah kita diragukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara cuma cuma.
Ini karena Pemerintah gagal memperkokoh basis ekonomi kerakyatan. Kapitalisme dimana unit unit usaha penting dikuasai segelintir pemilik modal menjadi realita ekonomi yang dibangun rezim. Bahasanya investasi investasi. Semua kebijakan pembangunan ekonomi di arahkan pada penguatan kaum kapitalis. Akibatnya ketika ada kondisi darurat seperti saat ini dipastikan rakyat akan menderita.
UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 52 menyatakan :
(1) Selama penyelenggaraan Karantina Rumah kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
(2) Tanggungjawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
Dalam hal Karantina Wilayah dimana orang tidak boleh keluar dan masuk ke wilayah tersebut, maka tanggungjawab pemenuhan kebutuhan dasar sama dengan Pasal 52 di atas yaitu Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Batas wilayah diberi police line.
Disinilah mungkin jawaban pertanyaan mengapa Presiden Jokowi hingga kini enggan untuk mengumumkan status "lockdown" baik kewilayahan maupun rumah. Pemerintahan Jokowi sangat "ekonomis" kepada rakyat dan "altruis" kepada para pengusaha. Hitung hitungannya sangat ketat.
Dengan angka pertumbuhan ekonomi di bawah 3 % kelak, nilai kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika di atas 16 ribu rupiah, harga saham anjlok, gagal bayar atas berbagai kasus korupsi, serta hutang luar negeri yang besar, maka kebangkrutan ekonomi yang menyertai kebijakan "lockdown" sudah dapat terprediksi.
Pak Jokowi bisa menangis dan ditinggalkan para menteri. Kini saja diduga para pengusaha di sekitar istana sudah banyak yang kabur menyelematkan diri ke Singapura. Corona berhasil membuat ketakutan dan kepanikan.
Menteri Keuangan pusing, Menteri Kesehatan hilang, Menteri Dalam Negeri bingung, Menko Maritim teriak teriak SOS ke China, Menteri Perdagangan tidak ada suara, Menteri lain sedang mecari masker takut atau sudah tertular. Isolasi diri. Partai koalisi juga ikut ikut memperingatkan. Khawatir tenggelam bersama.
Kembali pada kebijakan "lockdown" yang akan berefek pada tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar, nampaknya kemampuan Pemerintah Pusat diragukan. Oleh karenanya Doni Minardo penanggungjawab penanggulangan bencana terus mempublikasikan bahwa Presiden tidak menginstruksikan lockdown. Demikian juga teriakan Luhut.
Bertarung antara hitung hitungan dengan desakan membuat Pemerintah bimbang. Sementara virus semakin merajalela menyerang tenaga medis, lingkaran istana, dan tentu saja rakyat banyak. Keputusan mesti diambil. Jiwa pahlawan atau petualang yang menang. Jika terlambat yang terjadi adalah semua hilang baik nyawa, uang maupun kekuasaan.
Sudah terlalu lama Pemerintah berputar putar di penguatan kekuasaan dan mencari uang hingga menumpuk hutang. Saatnya kini berbuat untuk kepentingan rakyat banyak. Suara mereka yang dahulu diminta bahkan dicuri kini di tuntut untuk dikembalikan.
Sedikit saja, lockdown dan penuhi kebutuhan dasarnya. Bila perlu dengan semangat berkorban untuk tidak lagi berkuasa. Demi rakyat.