View Full Version
Kamis, 26 Mar 2020

Dilema Negara di Tengah Serangan Corona

 

DESAKAN Lockdown oleh beberapa organisasi kesehatan dan masyarakat sipil kian menguat. Namun nampaknya Pemerintah masih enggan mengambil kebijakan tersebut, meski korban terus berjatuhan. Sejak kasus pertama muncul di Indonesia hingga kini telah ada ratusan yang terjangkit virus tersebut, bahkan puluhan diantaranya meninggal dunia.

Kekhawatiran sejumlah pihak tentu dapat dimaklumi dengan menuntut pemerintah untuk melakukan langkah lockdown demi menghentikan penyebaran virus. Namun meski demikian Pemerintah sendiri tetap tak mengambil opsi lockdown dengan alasan dapat berdampak pada perekonomian dan sosial serta keamanan.

Betul memang, ekonomi negeri ini rapuh. Negara sangat tergantung pada pajak sebagai sumber terbesar pemasukan negara. Bisa dibayangkan bukan, jika perekonomian mandek meski hanya 2 pekan. Sementara kebutuhan makan rakyat menjadi tanggung jawab Pemerintah selama lockdown, bisa dipastikan akan terjadi kekacauan.

Namun kebijakan tersebut di satu sisi juga tak bisa dibenarkan, sebab sangat membahayakan bagi keselamatan nyawa rakyat. Artinya tanpa lockdown mereka yang barangkali telah terjangkit namun tak mengetahuinya, dapat menularkan virus tersebut pada yang lain. Tentu ini akan menambah korban-korban baru.

Dalam kondisi demikian memang lockdown harusnya menjadi opsi yang dipilih tanpa memperhitungkan kerugian materi yang ditimbulkan. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Islam melalui lisan yang mulia Rasulullah Saw ketika terjadi penyebaran penyakit menular. Beliau bersabda “Wabah Tha’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah Azza Wajall yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hamba-Nya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tha’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya.

Sementara itu, selama masa lockdown kebutuhan akan makan rakyat menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Disini barangkali muncul pertanyaan bagaimana negara dapat menjamin kebutuhan rakyat? dari mana sumber pemasukannya? Sejak awal Islam telah memberikan pengaturan yang luar biasa agar negara mampu memberikan layanan maksimal kepada rakyatnya. Diantaranya adalah dengan mengelola kekayaan alam yang dimiliki secara mandiri dan tanpa menggantungkan kepada pihak lain. Jika pun melibatkan pihak luar, bentuknya hanyalah sebagai pekerja dan bukan pemilik.

Dengan demikian, negara secara penuh dapat memanfaatkan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Negara pun lebih siap menghadapi kondisi yang tak terduga sebagaimana hari ini tanpa takut terjadi chaos. Jika pun ternyata kas negara dalam keadaan kosong karena faktor tertentu lantas bagaimana? Maka Islam pun telah memberi solusi akan hal ini, yakni memungut pajak kepada rakyat yang memiliki kelebihan harta untuk sementara waktu. Bisakah hal ini dilakukan?

Tentu hal demikian akan mudah dilakukan sebab sebelumnya negara telah menyeru kepada rakyat agar tumbuh kesadaran untuk peduli terhadap sesama, sehingga lahirlah pribadi-pribadi yang ikhlas dan secara sukarela memberikan kelebihan hartanya untuk menolong saudaranya. Efek lebih jauh lagi adalah tidak terjadi panic buying yang membuat harga kebutuhan pokok melambung serta rakyat akan taat terhadap penguasa untuk mengikuti arahan lockdown. Sebab ketaqwaan individu telah tertanam sempurna. Sehingga rakyat akan lebih banyak muhasabah diri akan musibah tersebut dan bukan disibukkan dengan memborong semua kebutuhan pokok tanpa peduli bagaimana kondisi saudaranya yang lain.

Namun lagi-lagi hal tersebut akan sulit dilakukan jika bukan Islam yang dijadikan sebagai asas berpijak. Sebab kurangnya kepedulian penguasa dalam penanganan masalah ini yang masih memperhitungkan untung-rugi dalam mengurus rakyat sesungguhnya adalah efek dari penerapan kapitalisme.*

Sri Wahyuni, S.Pd 

Dadapan, Desa Pakistaji, Kec. kabat, Kab. Banyuwangi, Jawa Timur


latestnews

View Full Version