View Full Version
Rabu, 01 Apr 2020

Keimanan dan Kemanusiaan

Oleh: Athian Ali

Risalah Islam secara zahar dan tegas sekali mengajarkan, bahwasanya jika seseorang ingin selamat dunia akhirat, maka yang bersangkutan tidak bisa hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri tanpa memperdulikan keselamatan orang lain.

Risalahnya bahkan dengan tegas mengancam "kesempurnaan" iman seseorang yang belum mampu mencintai saudaranya seperti cintanya yang bersangkutan kepada dirinya sendiri.

Dalam tamsil yang lain diibaratkan dengan seseorang yang tidur dengan nyenyak karena perutnya sudah kenyang sementara di sekelilingnya banyak yang tidak bisa tidur karena menahan lapar padahal yang bersangkutan mengetahuinya.

Keimanan dan kemanusiaan seseorang akan lebih teruji lagi pada saat situasi dan kondisi kritis. Situasi dimana masing-masing orang sulit menyelamatkan diri dari ancaman yang berpotensi merenggut keselamatan dirinya bahkan nyawanya.

Bagi Wong Cilik, terutama yang berpenghasilan harian, kehadiran COVID-19 dan anjuran untuk tinggal di rumah, tanpa ada bantuan dan solusi yang kongkrit dari pemerintah, tentu saja akan jauh lebih memusingkan, karena mereka bukan hanya harus menghadapi ancaman virus, tapi juga fulus!

Dalam situasi seperti ini akan teruji keimanan dan kemanusiaan setiap orang, apakah yang bersangkutan masih mau memperhatikan nasib orang lain? Atau malah hanya sibuk dengan ego nya sendiri, tak perduli pekikan, jeritan dan rintihan orang lain.

Bagi para pemimpin akan teruji apakah mereka akan menjadi kelompok pertama dari ummat Rasul yang masuk syurga tanpa hisab karena telah memenuhi hak rakyatnya secara adil? Atau malah menjadi kelompok pertama yang akan masuk neraka jahannam tanpa hisab, karena dengan dzalim mengabaikan hak rakyatnya!

Semua tergantung dari apakah para pemimpin serius memikirkan dan memperjuangkan nasib dan keselamatan rakyatnya? Atau lebih memperjuangkan upaya mewujudkan ambisinya? Tidaklah salah, bahkan harus bagi seorang pemimpin memiliki ambisi, jika saja ambisinya tersebut akan membawa maslahat bagi rakyat.

Dalam situasi negeri yang sedang menghadapi wabah yang mengancam berbagai sendi kehidupan terutama nyawa, sangat terasa tidak bijak kiranya jika dalam situasi seperti ini masih saja bahkan dengan santai diwacanakan ambisi besar untuk tetap melaksanakan pemindahan Ibu Kota dengan dana yang konon mencapai 466 trilyun.

Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu akan diperoleh? Jika dana tersebut di antaranya akan diambil dari saldo per-akhir February 2020, dimana konon masih ada uang di kas lebih dari Rp. 270 trilyun, maka mengapa dari dana sebesar itu tidak dipergunakan untuk memerangi wabah COVID-19 demi menyelamatkan nyawa rakyat?

Mengapa pemerintah terkesan seperti kewalahan, sampai harus membuka rekening khusus bagi masyarakat yang ingin berdonasi bagi penanganan COVID-19. Bahkan telah menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 porsen, kendati kemudian ketetapan yang sangat mencekik wong cilik itu dibatalkan Mahkamah Agung.

Rakyat tentu saja berhak bertanya: Ada apa dan mengapa? Yang tidak kalah mengherankan juga ngototnya pemerintah terkait pembangunan infra struktur dengan risiko utang yang sangat luar biasa besarnya, dimana maslahatnya entah kapan akan dinikmati rakyat dalam kondisi terlilit hutang dan atau bahkan terjajah pihak yang berpiutang Seperti yang sudah terjadi di beberapa negara lain?

Apakah tidak lebih bijaksana dan lebih berprikemanusiaan, jika kedua ambisi besar tersebut disingkirkan sementara atau selamanya, demi mengatasi dan menyelamatkan nyawa rakyat. Demi juga memberikan ketenangan bagi tim medis yang sedang berjuang dilapangan.

Begitu pula rakyat yang kebanyakan sudah stress, terutama ketika mereka membaca Kompas.id, 27 Maret 2020 yang menulis berita "Tanpa Tindakan Drastis" separuh penduduk Indonesia rpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Sangat luar biasa mengerikan .

(https://kompas.id/baca/humaniora/2020/03/27/tanpa-tindakan-drastis-separuh-penduduk-indonesia-berpotensi-terinfeksi-covid-19-sebelum-lebaran)

Boleh jadi, inilah saat yang paling tepat untuk kita menguji diri masing- masing, terutama mereka yang selama ini mengklaim sebagai yang paling pancasialis, khususnya pada sila Ketuhanan Yang Mahaesa dan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Benarkah kita telah berketuhanan dan berperikemanusiaan?


latestnews

View Full Version