Oleh:
Zuhrufah Adnan
MUSIM mudik tentunya menjadi musim yang sangat membahagiakan bagi para perantau. Hal itu jika dilakukan pada waktu yang tepat, seperti momen Hari Raya dan perayaan keagamaan lainnya. Namun bagaimana jadinya jika kegiatan mudik tersebut dilakukan pada musim wabah seperti saat ini? Akankan hal tersebut menjadi kegiatan yang membahagiakan?
Selama delapan hari belakangan banyak para perantau yang memutuskan untuk pulang kampung atau mudik, sedikitnya ada sekitar 4 ribu orang yang mudik menggunakan bus. Hal ini diberitakan oleh detikNews. Senin, 30 Mar 2020.Presiden RI Jokowi menyebut sekitar 876 bus antar provinsi sudah melayani para pemudik dengan total 14 ribu.Ia juga menambahkan, "Laporan yang saya terima dari Gubernur Jawa Tengah, Gubernur DIY, pergerakan arus mudik sudah terjadi lebih awal dari biasanya dan sejak penetapan tanggap darurat di DKI Jakarta telah terjadi percepatan arus mudik terutama dari para pekerja informal di Jabodetabek menuju ke provinsi Jawa Barat, provinsi Jawa Tengah, dan DIY, serta ke Jawa Timur".
Dengan banyaknya pemudik yang kembali ke kampung halaman, hal tersebut memiliki kemungkinan besar akan terjadinya penularan yang lebih massif. Karena akan banyaknya masyarakat yang berada di zona merah, dimana zona ini merupakan zona terbanyak dengan kasus kejadian positif covid-19. Sudah barang tentu masyarakat di daerah tersebut memiliki kemungkinan sebagai pembawa virus, walau orang yang mudik tersebut dalam keadaan sehat dan tidak memiliki tanda dan gejala dari penderita covid-19. Hal itu tidak menjamin jika orang tersebut tidak membawa virus di tubuhnya.
Bisa jadi orang yang memiliki kekebalan tubuh yang baik akan mampu terhindar dari serangan virus ini, namun dia bisa menjadi carrier atau pembawa virus. Dimana jika virus tersebut ing-invasi atau masuk kedalam tubuh orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah, virus ini akan mudah menyerang orang tersebut dan sudah dapat dipastikan jika orang tersebut akan menderita penyakit yang disebabkan oleh virus covid-19 ini.
Apalagi jika penularan tersebut terjadi di desa, dengan kapasitas layanan kesehatan yang sangat minim ditunjang dengan mayoritas masyarakat desa yang sudah berumur, akan semakin muda bagi virus covid-19 menyebar dan menginvasi banyak orang.
Hal inilah yang akan menjadikan terjadinya lonjakan atau peningkatan kasus covid-19. Dan secara tidak langsung, para pemudik, memiliki kemungkinan untuk menularkan virus covid-19 dan bisa jadi, tanpa mereka sadari mereka menjadi perantara dalam membunuh orang-orang terdekat mereka atau bahkan orang-orang yang mereka kasihi.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah dengan tegas, menerapkan ketentuan lockdown sejak awal teridentifikasinya virus ini di Indonesia. Walaupun sudah ada beberapa daerah yang sudah menerapkan local lockdonw dan beberapa pihak sudah banyak yang mendesak agar segera dilakukan lockdown. Seperti yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dan masyarakat sipil yang kian mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 (corona).tirto.id.
Hal senada juga datang dari Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI). Dalam surat pada 14 Maret 2020 lalu, PA PAPDI meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit Covid-19.
Begitu banyak desakan namun pemerintah tetap tidak mengambil kebijakan lockdown setidaknya ada 7 rekomendasi yang mereka berikan, Namun upaya tersebut berakhir gagal setelah pemerintah pusat mengatakan keputusan lockdown adalah "kebijakan pemerintah pusat."
"Belum diambil oleh pemerintah karena lockdown itu, memiliki implikasi ekonomi, implikasi sosial, dan keamanan," kata Tim Pakar Gugus Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito di kantor BNPB, Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Dari hal di atas kita dapat melihat jika pemerintah dan pemimpin di negeri kapitalis lebih mementingkan perkara ekonomi dan keuntungan daripada nasib rakyat sendiri.Dan juga, kita dapat melihat jika pemerintahan yang menggunakan sistem kapitalis sekuler tidak mampu menjamin kecukupan sandang, papan, dan pangan bagi masyarakatnya yang notabenenya hal tersebut merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Hal ini akan jauh berbeda dengan ajara Islam. Islam dalam menghadapi wabah sudah sangat jelas dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw:
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah keluar darinya." (HR al-Bukhari).
Di dalam Islam, nyawa seorang muslim sangat dijaga dan bahkan lebih berharga dari dunia dan seisinya sebagai mana hadis yang di sampaikan dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Tidak hanya itu, dalam Islam pemerintah juga akan mencukupi seluruh kebutuhan pokok masyarakatnya karena pemerintah memahami betul tugas yang di embanya sebagi peri'ayah bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Rasulullah Saw bersabda:
“Amir (pemimpin) masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Jadi sangat jelas bagaimana Islam menjaga dan meri'ayah masyarakatnya saat terjadinya wabah, sehingga kejadian mengerikan seperti menjadi pembunuh bagi orang-orang terkasih kita tidak akan pernah terjadi. Wallahu a'lam bisshawab.*