View Full Version
Sabtu, 04 Apr 2020

Kemiskinan di Tengah Wabah Corona

 

Oleh:

Desi Maulia, S. K. M

Praktisi Pendidikan

 

DI TENGAH semakin meluasnya wabah Corona di Indonesia, angka kemiskinan berpotensi untuk semakin meningkat. Bagaimana tidak, saat ini dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah Corona dengan stay at home, dan work from home menjadikan banyak orang jadi kehilangan pendapatannya. Pasalnya Work From Home (WFH) hanya bisa dilakukan oleh pekerja kantoran. Dan itu hanya segelintiran orang saja. Menurut Kepala Ekonom CSIS Yose Rizal Damuri masih ada 80% jenis pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dengan menggunakan sistem work from home ini.

Mereka diantaranya buruh pabrik, tukang ojek, juga taksi online. Pendapatan mereka sangat bergantung dengan aktivitas di luar rumah. Ini artinya kebijakan WFH ini tentu akan mengurangi pendapatan mereka (www.cnnindonesia.com). Selain itu juga ada profesi lain yang pendapatannya berpotensi untuk mengalami penurunan, seperti pedagang kaki lima. Mereka mengandalkan penghasilannya dari mobilitas orang di luar rumah. Penurunan pendapatan para pekerja informal berpeluang mengantarkan mereka ke jurang kemiskinan.

Per Maret 2019, jumlah penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 6,7 juta orang.  Mayoritas dari mereka melakukan pekerjaan informal dan mendapatkan upah harian. Apabila penanganan pademi ini berlangsung lama maka periode pembatasan dan penurunan mobilitas akan semakin panjang. Hal ini akan menyebabkan para pekerja informal dan orang mendapatkan upah harian ini kehilangan mata pencaharian sehingga akan jatuh ke bawah garis kemiskinan (www.cnbcindonesia.com).

Selain itu, di tengah wabah corona yang semakin meluas dan seruan pemerintah untuk stay at home, banyak masyarakat yang mengalami kepanikan sehingga mereka mulai membeli barang-barang kebutuhan pokok dan alat-alat kesehatan. Hal ini menyebabkan harga-harga melambung tinggi. Sehingga masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menjangkau harga tersebut. Walhasil pada akhirnya mereka harus pasrah ketika mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya akibat barang-barang yang telah melambung tinggi harganya.

Sayangnya dalam menghadapi dampak ekonomi akibat corona ini, dengan pandangan Kapitalismenya lebih memilih menyelamatkan nilai rupiah daripada mengatasi kemiskinan. Pemerintah melalui Bank Indonesia justru mengucurkan dana Rp 300 triliun untuk menguatkan nilai rupiah (www.pikiran-rakyat.com).

Di sisi lain pemerintah melalui menteri keuanganya Sri Mulyani berupaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat dengan mengeluarkan stimulus gelombang pertama dan stimulus gelombang kedua. Pada stimulus gelombang pertama, bantuan akan disalurkan melalui kartu sembako bakal ditambah nominalnya dari Rp 150.000 per bulan menjadi Rp 200.000 per bulan kepada 15,2 juta keluarga penerima manfaat. Hal ini akan dilangsungkan selama  6 bulan. Dalam stimulus gelombang kedua PPh untuk pekerja di seluruh manufaktur dengan penghasilan di bawah Rp 200 juta akan ditanggung oleh pemerintah terhitung sejak April hingga September 2020 (www.m.bisnis.com).

Selain itu beberapa waktu yang lalu pemerintah mengumumkan akan menggratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan diskon 50% bagi pelanggan 900 VA (www.kompas.com). Dari kebijakan yang diambil pemerintah ini, kita melihat pemerintah kurang serius dalam mengatasi kemiskinan akibat corona. Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat wabah corona ini tidak menyentuh akar persoalan yang ada. Selama ini pemerintah dengan sistem Kapitalismenya mengukur kesejahteraan dengan membagi rata total pendapatan seluruh rakyat Indonesia.

Ini tentu saja tidak bisa menggambarkan secara real kondisi masyarakat Indonesia. Karena adanya kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya. Orang kaya yang berjumlah sedikit dengan penghasilan yang sangat besar dan orang miskin yang berjumlah banyak dengn penghasilan yang sangat rendah. Dengan perhitungan rata-rata tersebut tidak mampu menunjukkan fakta yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Sehingga persoalan kemiskinan tidak pernah bisa diselesaikan karena salah dalam memandang makna kesejahteraan.

Apalagi di tengah wabah corona saat ini. Persoalan yang dihadapi sebagian masyarakat adalah berkurangnya bahkan tidak adanya penghasilan yang membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mendasar bagi keluarganya. Penambahan jumlah bantuan sebesar 50.000 per bulan juga penggratisan listrik tidak cukup untuk menjamin rakyat terpenuhi kebutuhannya di tengah wabah corona ini.

Lebih jauh untuk mengatasi penyebaran virus corona ini beberapa pakar dan IDI menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan karantina atau lock down. Namun pemerintah tidak menghiraukan seruan tersebut tapi justru mengeluarkan pengumuman darurat sipil bagi Indonesia. Ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Kebijakan darurat sipil ini menunjukkan bahwa pemerintah hendak lari dari tanggung jawabnya kepada rakyat.

Pasalnya dalam UU nomor 6 tahun 2018 BAB VII pasal 55 dinyatakan bahwa ketika pemerintah melakukan karantina kesehatan maka pemerintah pusat bertanggung jawab atas kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina. Namun pemerintah mengelak tanggung jawab itu dengan menetapkan darurat sipil. Dengan kebijakan darurat sipil ini pemerintah tidak memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Walhasil akan berakibat pada kemiskinan yang terus berlanjut dan bertambah dengan adanya virus corona.

Inilah realita pemerintah yang menggunakan sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme yang dianut oleh pemerintahan Indonesia, penguasa hanya berfungsi sebagai regulator saja. Pemerintah tidak punya tanggung jawab untuk mengurusi rakyatnya. Padahal Allah SWT telah menjadikan tanggung jawab pengurusan umat pada penguasa. Tidak hanya pada masa krisis saja tapi juga dalam kesehariannya. Rasulullah SAW bersabda,

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Bukhari).

Khalifah bertanggung jawab menjamin setiap rakyatnya untuk bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya. Memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi kepala keluarga agar bisa melaksanakan kewajibannya menafkahi keluarga dan tanggungannya. Selain itu untuk mengentaskan kemiskinan, Khilafah memiliki pos zakat yang diperuntukkan salah satunya bagi orang fakir dan miskin. Adapun dalam kondisi merebaknya wabah seperti yang terjadi saat ini, maka pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyatnya. Negara menyediakan kebutuhan warganya dengan menggunakan dana dari Baitul Mal. Dana tersebut bisa diambil dari pos kepemilikan umum. Jika dalam pelaksanaannya kas Baitul Mal mengalami kekurangan maka negara boleh meminjam dana dari masyarakat untuk dikembalikan pada waktu yang lain. Wallahu 'alam bish shawab.*


latestnews

View Full Version