Oleh:
Habsah, Aktivis UINSU
PANGAN merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Munculnya pandemi Covid-19 dapat mengancam ketahanan pangan di Sumatera Utara (Sumut), karena menurunnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian yang kemudian berimplikasi terhadap anjloknya produksi hasil pertanian. Belum lagi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan cukup dalam yang mencapai Rp 16.000 per dolar AS. (Medanbisnisdaily.com)
Dan ini bisa dipastikan penyebab turunnya produktivitas usaha tani tanaman karena para pekerja berkurang ataupun terbatas dikarenakan alasan menjaga immunitas tubuh dan juga sosial maupun physical distancing.
Terlebih lagi hampir semua wilayah kabupaten/kota Sumut masuk dalam wilayah penyebaran covid-19. Pemerintah daerah pun melalui instansi memikirkan skenario bagi pengelolaan sektor pertanian di Sumut upaya menjaga ketahanan pangan.
Perlu adanya suatu sarana memotivasi berupa materi, yang diberikan sebagai suatu perangsang ataupun pendorong dengan sengaja kepada para pekerja agar dalam diri mereka timbul semangat yang besar untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, ujar hotden salah satu dosen fakultas pertanian universiitas Nomensen Medan.
Belum lagi pandemi ini belum pasti kapan akan mereda, apabila ini berjalan lama otomatis inflansi sumut akan meningkat terlebih lagi untuk bahan pangan. Dan ini berdampak pada ketahanan pangan wilayah. Belum lagi permasalahan pangan ini menjadi hal yang krusial dan diperlukan langkah komprehensif dan konsisten dalam menciptakan kondisi yang ideal. Ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yakni; aspek ketersediaan, aspek aksebilitas dan konsumsi.
Khususnya untuk aspek ketersediaan pangan, memiliki dua sisi yakni berupa pasokan pangan dan kebutuhan pangan. Kebijakan social distancing juga mengganggu bagi para pekerja secara kolektif sehingga sulit untuk dilakukan, akibatnya ongkos membengkak dan jam kerja berkurang. Untuk aspek aksebilitas juga akan terganggu karena yang biasanya masyarakat makan tiga kali sehari mungkin juga ini juga berlanjut bisa jadi dua kali dalam sehari akibat keterbatasan pangan.
Akibat ketersediaan dan aksebilitas pangan yang terganggu bisa jadi kebutuhan untuk penggunaan pangan turut terganggu, katakan saja masyarakat di tengah maraknya wabah ini memerlukan makanan yang higienis dan sehat demi meningkatkan immunitas tubuh. Pemerintah daerahpun harus bisa mempersiapkan beberapa hal dalam menghadapi pandemi ini.
Memang sudah semestinya negara memfasilitasi kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar masyrakat. Hanya saja, kondisi penurunan kinerja para petani dan seluruh elemen di bidang petanian disebabkan karena kurang tegasnya pemerintah dalam menghadapi pandemi ini, sehingga terlambat dan berefek ke semua aktivitas dan setiap elemen masyarakat.
Di dalam Islam lockdown dilakukan pada wilayah tempat penyebaran virus, isolasi dilakukan pada orang yang sakit dan teridentifikasi sakit, dengan tetap memenuhi kebutuhan orang yang sakit dan keluarganya yang wajib ia nafkahi. Sementara untuk orang yang sehat tidak perlu dikarantina tetapi ia tidak dibiarkan masuk ke wilayah yang terinfeksi virus. Kebiasaan dan edukasi hidup sehat serta bersih harus ditingkatkan dan protokoler pencegahan wabah dilakukan terpimpin oleh negara. Dan ini juga sebagai pemicu untuk ketersediaan pangan yang memadai dan menghindari keterancaman ketahanan pangan.*