Oleh:
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
‘Kenapa sih suka banget kritik pemerintah?’, ‘Nggak bosan apa kritik melulu?’, ‘Kayaknya di mata kalian pemerintah itu salah terus’, ‘kalau gak suka tinggal di Indonesia, mengeluh terus, pindah negara sana!’.
Seringkali kalimat-kalimat itu terlontar dari mereka yang kegerahan dengan kelakuan orang yang mereka sebut ‘Tukang Kritik’. Saya pun termasuk salah satu dari yang diistilahkan ‘Tukang Kritik’. Menurut mereka, apa yang dilakukan pemerintah selalu salah di mata ‘Tukang Kritik’. Nggak ada benernya. Begini salah begitu salah. Ah, ada lagi sebutan bagi ‘Tukang Kritik’ ini, yaitu ‘Kaum Kadrun’.
Efek pilpres rupanya terlalu mengakar dalam pikiran rakyat. Meski Pak Presiden sudah tegas menyatakan tidak ada lagi cebong dan kadrun, hal itu tak berlaku bagi rakyat netizen Indonesia. Saat kau membabi buta membela pemerintah. Memuji keputusan pemerintah meski salah, maka indikasi ‘cebong’ atau ‘bani togog’ berlaku bagimu. Pun sebaliknya. Saat kau habis-habisan kritik kinerja pemerintah. Demen nyalah-nyalahin pemerintah, maka inilah yang disebut ‘Bani Kadrun’. Siapapun Anda. Tak peduli jabatan, status sosial ataupun agama. Pokoknya kadrun.
Saya pribadi, meski dianggap sebagai ‘Tukang Kritik’, saya bukan kadrun, kaum nyinyiriyun, ataupun bangsa keropi. Saya manusia, hamba Allah, yang mencintai negeri ini dengan segenap iman dan sepenuh hati. Hal yang sama pun pasti berlaku bagi siapapun yang terpanggil nuraninya untuk bersuara. Tak ingin Indonesia tergadai begitu saja. Tak rela para bandit kekuasaan mengobral negara dengan murahnya ke tangan penjajah. Tak sudi berkompromi dengan kezaliman. Tak suka bila kekuasaan disalahgunakan.
Kritik kami bukan asal kritik. Kritik kami tak serang pribadi seseorang. Kritik kami fokus pada kebijakan. Bedakan dengan jelas antara menyerang personal dengan mengkritik kebijakan. Jangan salah nalar. Gunakan akal dan pikiran jernih menilai ‘Tukang Kritik’. Karena kami mengkritik bukan asal-asalan. Harus berdasar fakta dan realitas sesungguhnya. Bukan memuja kemana-mana dan mendukung kezaliman pemerintah.
Ya, kezaliman pemerintah yang dilakukan sekarang. Zalim itu secara bahasa artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Zalim lawan kata dari adil. Itulah fokus kritik kami. Bukan asal bunyi. Apalagi penuh emosi. Meski sebenarnya emosi juga melihat rezim saat ini. Tapi kami masih menahan diri. Menasihati penguasa dengan cara yang dituntunkan Nabi. Beramar makruf nahi mungkar sesuai perintah Islam. Kritik adalah cara kami berdakwah. Berharap penguasa meluruskan sikapnya. Mengubah pola pikirnya. Terpantik sisi peka dan empatinya.
Kenapa kok suka kritik pemerintah? Lha terus saya harus kritik siapa kalau bukan pemerintah? Mereka dipilih rakyat. Diberi mandat menjalankan amanat. Kalau salah berbuat, wajib dong bagi rakyat menegurnya. Dalam Islam, penguasa itu khodimatul ummat, alias pelayan umat. Mengapa sasaran kritiknya kok pemerintah terus? Begini ya teman, menjadi penguasa itu efeknya luar biasa baik kebijakan positif atau negatifnya. Jika mereka melakukan kebijakan, maka rakyatlah yang paling berdampak.
Maka dari itu, menjadi penguasa/pemimpin itu harus berbesar hati. Siap menanggung beban. Siap bertanggungjawab hingga akhir. Tentu saja juga harus siap menerima krtik dan hujatan dari rakyat. Mereka digaji dari pajak rakyat. Mereka hidup enak dengan uang rakyat. Lalu, apa rakyat tak berhak menasihati mereka? Punya hak lah.
Satu hal lagi, bagi seorang muslim, mengatakan kalimat benar di depan penguasa zalim adalah tuntunan Islam. Sebagaimana sabda Nabi shallahu alaihi wa sallam, “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kritik kami tak akan berhenti hingga kezaliman hilang dari muka bumi. Kritik kami akan terus menggema di jagat raya selama islam masih terpinggirkan dalam kehidupan. Kritik kami bukan auto bunyi. Saat mengkritik, kami tawarkan solusi. Solusi Islam sebagai aturan kehidupan. Sebab, kami meyakini tak ada kebaikan dan kemaslahatan selama negeri ini terus menentang aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah tujuan Islam diturunkan. Membawa rahmat bagi semesta alam. So, jangan anti kritik. Jangan bungkam kritik.
Mari bijak mengkritik dan menghadapi kritik. Manusia lebih senang hancur dengan sanjungan daripada selamat melalui kritikan (Norman Vincent Peale). Cobalah para pemimpin negeri ini meneladani Khalifah Umar yang senang dikritik, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.” Itulah pemimpin sejati. Bukan sensian apalagi baperan bila dikritik.*