Oleh :
Ari Nurainun, SE
Pemerhati Sosial Politik
MALANG nian nasib penduduk negeri ini. Bagaimana tidak, bantuan sosial yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Program bantuan bagi warga terdampak Covid-19 terkendala pencairan. Sejumlah kepala Daerah menilai, aturan yang dibuat pemerintah berbelit-belit dan menimbulkan kegaduhan.
Bupati Bolaang Mangondow Timur, Sehon Salim Landjar bahkan mencak-mencak ke sejumlah menteri. Menurutnya, Program BLT yang dikeluarkan pemerintah membuat warga penerima manfaat tidak boleh menerima bantuan lain. Padahal, beliau sudah membeli beras dan akhirnya tidak bisa disalurkan ke masyarakat. (Tempo.co.id)
Hal yang sama juga dikeluhkan Kepala Desa Ngandong, Kecamatan Geger,Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Pamuji menceritakan perihal belum terealisasinya pencairan bantuan sosial terkait penanggulangan Covid-19. Ketentuan tentang tidak boleh tumpang tindih bantuan membuat perangkat desa kebingungan.
Tak heran, jika Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia ( Apkes), Abdullah Azwar Anas meminta pemerintah menyederhanakan mekanisme bantuan sosial (bansos) tersebut.
Sementara itu, Menteri Sosial, Jularni Batubara mengakui, terhambatnya penyaluran paket sembako untuk warga terdampak Covid-19 dikarenakan harus menunggu tas pambungkus untuk mengemas paket sembako. "Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya, kesulitan bahan baku yang harus impor", kata Juliari kepada wartawan, Rabu (29/4/2020) ( Swararakyat.com)
Mana sebenarnya yang dibutuhkan rakyat, tas pembungkus atau isinya?
Kebijakan yang Tak Bijak
Di tengah himpitan ekonomi dan kebutuhan untuk bertahan hidup di masa pandemi ini, rakyat sangat membutuhkan kepedulian pemerintah. Administrasi yang berbelit dan birokrasi yang rumit, menambah ruwetnya persoalan.
Persyaratan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya. Dengan dana yang hanya Rp 600,00 perbulan, dan diberikan selama 3 bulan, para penerima ini bahkan harus merogoh kocek terlebih dahulu untuk membuat rekening bank. Padahal, jangankan untuk membuka rekening, memastikan dapur mengebul setiap hari saja sudah cukup menyulitkan bagi sebagian besar rakyat negeri ini.
Apalagi jika ternyata, terhambatnya pencairan hanya karena tas pembungkus yang berwarna merah putih dan bertuliskan "Bantuan Presiden RI, Bersama Lawan Covid-19" belum selesai dibuat. Betapa tak bijaknya kebijakan penguasa negeri +62 ini.
Tentu tak mengherankan, jika rakyat lantas memberi nilai merah kepada stake holder negeri ini. Lihat saja hasil riset yang dikeluarkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Riset yang digelar di twitter ini menghasilkan sentimen negatif kepada Presiden dan tiga mentrinya dalam penanganan Covid-19. Didik Junaidi Rachbini menjelaskan, INDEF Datalyst Centre menggunakan cuitan masyarakat di twitter selama 27 Maret hingga 25 April 2020.
Terdapat 476.696 perbincangan yanh dilakukan oleh 397.246 akun orang di twitter mengenai kebijakan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Dari hampir setengah juta percakapan, ada 22.574 tentang Jokowi, 6.895 tentang Yasona, 2.384 percakapan tentang Menteri Terawan dan 1.167 tentang Luhut Binsar Panjaitan. Didik menambahkan, meskipun pembicaraan mengenai keempat pejabat itu kecil dibandingkan pembicaraan tentang covid-19, namun terlihat sentimen negatif kepada para pejabat publik tersebut.
68 persen sentimen negatif kepada Jokowi terkait kartu pra kerja, 81 persen kepada menteri Yasona terkait pembebasan napi, 79 persen kepada pak Terawan terkait PSBB yang berbelit dan 86 persen terhadap Luhut tentang izin ojek online dan tetap beroperasinya bus antar kota.
Nampaknya upaya keras penguasa untuk meraih kembali kepercayaan publik menuai jalan buntu. Meskipun Jokowi berinisiatif membagikan sendiri sembako pada malam hari (26/4) di sebuah perkampungan di kota bogor, rakyat tak bergeming. Alih-alih ingin dianggap seperti Khalifah Umar, justru aksi Jokowi kontra produktif dengan Program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bagaimana jika perkumpulan banyak orang tersebut menjadi media penyebaran Covid-19? PSBB yang dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran justru dilanggar oleh pembuatan kebijakan sendiri. Lantas, bagian mananya yang meniru Khalifah Umar?
Kepemimpinan Sang Amirul Mukminin, Kepemimpinan Sejati
Dari awal, partai-partai pendukung rezim berupaya membentuk citra junjungannya dengan menisbatkan gaya blusukan Jokowi dengan sejarah kegemilangan Peradaban Islam di masa khulafa'ur Rosyidin, khususnya Khalifah Umar bin Khatab.
Sejarah memang mencatat, bagaimana sang khalifah memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada warganya yang kelaparan. Tapi sejarah juga mencatat, bahwa hal itu dilakukan karena rasa takutnya yang besar akan tanggung jawab kepemimpinannya. Konon, sang Ibu yang dibantu pun tak tahu jika yang mengantar dan memasakkan gandum tadi adalah Sang Khalifah
Umar ra pun tak membuat birokrasi yang berbelit-belit agar untuk memenuhi kebutuhan warganya. Dan tak salah sasaran. Karena Umar mengetahui kondisi real warga negaranya. Dibalik semua kegigihan Sang Khalifah menjalankan fungsi kepemimpinannya, tersimpan amanah besar di sana. Amanah melayani umat. Bukan dilayani.
Maka, setiap mekanisme yang dibuat mencerminkan pelayanan yang prima. Profesional dan amanah. Setiap individu terjamin kebutuhannya. Sesuai dengan kadarnya. Tidak menyamaratakan jumlah bantuan. Tanpa melihat jumlah anggota keluarga.
Validitas pendataan, kemudahan administrasi harusnya menjadi sesuatu yang mudah di zaman RI 4.0 sekarang ini. Karena semua terhubung dalam satu big data. Disinilah kualitas kepemimpinan teruji. Masih layakkah memimpin? .Wallahu'alam bi shawab.*