Oleh:
Hasni Tagili, M. Pd.
Aktivis Perempuan Konawe
MASIH segar dalam ingatan, Februari lalu, 49 TKA asal Cina masuk ke Sulawesi Tenggara. Kini, kondisi serupa terulang kembali dalam kuantitas pekerja yang lebih besar. Pemerintah berencana mendatangkan 500 TKA Cina secara bergelombang ke Sulawesi Tenggara. Tak peduli meski ada bahaya wabah.
Terang saja kebijakan ini tengah dikritik sejumlah pihak. Bukan hanya kritik soal nasib banyak WNI yang butuh pekerjaan, tetapi juga penanganan penyebaran virus corona di Indonesia yang saat ini belum selesai.
Dilansir dari Antaranews.com, 29/04/2020, menanggapi rencana datangnya 500 TKA Cina ke Sultra, Pemprov dan DPRD Sultra sendiri menyatakan menolak meski pemerintah pusat menerapkan protokol kesehatan. Gubernur Sultra, Ali Mazi, mengatakan bahwa meskipun rencana kedatangan TKA tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat dan sudah melalui mekanisme protokol Covid-19, namun suasana kebatinan masyarakat di daerah belum ingin menerima kedatangan TKA.
TKA dari Cina itu rencananya akan bekerja di perusahaan pemurnian nikel (smelter) PT VDNI (Virtue Dragon Nickel Industry) di Morosi, Kabupaten Konawe. Meski sudah mengantongi izin dari pemerintah pusat, Pemprov Sulawesi Tenggara tetap akan memanggil pihak manajemen PT VDNI yang memang memiliki pekerja asal Cina.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) membenarkan telah menyetujui Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) 500 TKA China tersebut. RPTKA diajukan pada 1 April oleh dua perusahaan, yakni PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel.
"Betul terkait persetujuan penggunaan TKA untuk kedua perusahaan tersebut. Mengacu pada Pemen Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2020 dan peraturan perundang-undangan lainnya, secara legalitas Kemnaker tak bisa menolak permohonan pengesahan RPTKA yang diajukan oleh perusahaan pengguna," ungkap Plt Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker, Aris Wahyudi, kepada Kumparan.com (30/4).
"Karena dari sisi hukum atau peraturan penggunaan TKA semuanya terpenuhi, termasuk penggunaan TKA pada masa pandemik Covid-19, terutama Pemen Hukum dan HAM No 11 Tahun 2020, yaitu Pasal 3 ayat (1) huruf f," imbuhnya.
Terkait dengan potensi penyebaran virus korona, Kemenaker telah menyurati kedua perusahaan pada 15 April. Isinya adalah, kedua perusahaan diwajibkan berkoordinasi dengan stakeholders setempat untuk memitigasi dan memastikan calon TKA asal Cina tak terpapar korona.
Jika ditelisik lebih dalam, wajar saja jika kebijakan pemerintah pusat ini menuai protes dari berbagai pihak. Betapa tidak, investasi swasta lebih penting meski berlangsung di tengah wabah. Inilah bukti nyata bahwa dominasi asing masih menggejala melalui celah investasi.
John Perkins dalam bukunya, A Confession of Economic Hit Man, mengatakan bahwa salah satu modus intervensi adalah melalui strategi pemberian pinjaman (investasi). Perkins menyebutkan, pinjaman diberikan terus-menerus agar negara yang dituju akhirnya terjebak utang yang diterimanya itu. Sehingga secara politik dan ekonomi menjadi tergantung. Pada saat itu berbagai macam intervensi dengan mudah dilakukan. Alhasil, satu negeri begitu mudah disetir pihak luar bahkan untuk perkara vital.
Dominasi investasi asal Cina dalam pembangunan infrastruktur di negeri ini sulit untuk dibantah. Sebab faktanya cengkeraman investasi Cina begitu nampak terlebih melalui perjanjian belt road initiative (BRI) yang mengikat Indonesia.
Konsekuensi logis dari investasi adalah tidak mandirinya satu negara saat menetapkan kebijakan dalam negeri. Investor asing maupun aseng jelas memegang kendali atas negeri ini. Terlebih syarat-syarat investasi yang diajukan memberikan sinyal yang kuat bagaimana Cina berupaya keras mengendalikan negeri ini. Jadilah negeri kita tak memiliki wibawa bahkan untuk sekedar menolak hadirnya TKA di tengah pandemi.
Padahal, dalam Islam, intervesi asing, baik secara aturan maupun kebijakan, tidak diberikan celah. Negara menjamin kedaulatan dengan sistem pemerintahan yang hanya tunduk pada visi politik Islam. Menjadikan Islam dan kaum muslim memiliki posisi mandiri. Sehingga, tidak mudah tergoda pada intervensi berupa investasi dan kerjasama. Terlebih ketika terjadi pandemi, keselamatan umat menjadi prioritas utama. Lockdown total dilakukan dengan memutus segala aktivitas dengan negara luar.
Islam mencegah terjadinya intervensi asing dalam aturan dengan cara melihat secara langsung apakah aturan yang disodorkan oleh negara asing itu sesuai syariat atau tidak. Jika bersesuaian, maka diterima. Jika bertentangan, maka ditolak.
Begitu juga jika menyangkut pilihan kebijakan. Di sinilah peran penting rakyat dan partai. Dalam Islam, rakyat dan partai politik mendapat tugas untuk mengawasi pelaksanaan syariah. Mereka wajib mengontrol para penguasa jika ada penyimpangan terhadap syariah. Jika ini benar-benar membudaya maka penyimpangan bisa dihindari. Campur tangan asing bukan hanya mendapat pengawasan pemerintah, tetapi juga rakyat. Sungguh, tidakkah negara ini terpikirkan untuk mengadopsi Islam tatkala sistem kapitalisme telah terbukti gagal mensejahterakan? Wallahu a'lam bisshawab.*