Oleh:
Nurul Aqidah
Member Komunitas Aktif Menulis, Bogor
UNTUK menekan penyebaran Covid-19, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan social distancing atau physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pada intinya, kebijakan tersebut mengharuskan masyarakat untuk berdiam di rumah, bekerja, belajar dan beribadah di rumah. Aktivitas-aktivitas tersebut banyak dilakukan melalui media daring. Akibatnya berimbas kepada meningkatnya penggunaan internet dan media sosial.
Saat ini media sosial sudah menjadi kebutuhan wajib bagi masyarakat Indonesia, terlebih bagi kaum milenial. Berdasarkan laporan terbaru We Are Social, pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di negeri ini. Berdasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya.
Dalam laporan ini juga diketahui bahwa saat ini masyarakat Indonesia yang memiliki ponsel sebanyak 338,2 juta. Begitu juga data yang tak kalah menariknya, ada 160 juta pengguna aktif media sosial (medsos). Bila dibandingkan dengan 2019, maka pada tahun ini We Are Social menemukan ada peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di medsos. (m.detik.com, 20/02/2020)
Peningkatan penggunaan media sosial ternyata berimbas pada bertambahnya berita bohong atau hoaks yang turut tersebar melalui internet dan media sosial. Tanpa mengenal musim, hoaks selalu muncul dalam berbagai isu-isu masyarakat, seperti politik, sosial, ekonomi, hingga agama. Termasuk hoaks mengenai virus korona saat ini.
Penyebaran informasi yang tidak tepat dan cenderung hoaks melalui media sosial justru semakin memperkeruh keadaan, bahkan terkadang bisa membuat masyarakat bingung dan panik. Apalagi kabar hoaks itu terjadi hampir di semua aspek, mulai dari kabar jumlah korban, makanan, cara-cara penularan sampai obat penangkal virus korona. Terdapat juga hoaks tentang foto orang meninggal yang disebutkan sebagai korban Covid-19, padahal orang tersebut sebenarnya meninggal akibat penyakit yang lain.
Selain itu, ditemukan hoaks pesan suara kondisi RS Hasan Sadikin Bandung, hoaks mengenai mandi air panas yang dapat tangkal virus korona, hoaks hand sanitizer yang menjelaskan bahwa lebih baik daripada sabun, hingga hoaks bahwa HP Xiaomi dapat menularkan virus korona. Belum lagi, ditemukan juga hoaks bahwa jemur uang dapat kurangi penyebaran virus korona.
Polri meminta masyarakat bijaksana dalam menerima informasi apapun, khususnya terkait virus korona atau Covid-19. Hal itu demi mendukung percepatan penanganan pandemi ini. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra menyampaikan, ada tambahan penanganan kasus berita bohong alias hoaks terkait korona. Hingga Senin (4/5/2020) ini, tercatat sebanyak 101 kasus hoaks soal Covid-19. Adapun motif para pelaku beragam. Mulai dari mengaku hanya iseng hingga sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait penanganan pandemi korona. (Liputan6.com, 5/5/2020)
Teknologi media sosial memfasilitasi berita benar dan berita salah. Namun teknologi hanya sebuah alat, sehingga tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah. Masyarakat lebih sering membagikan informasi yang menghebohkan atau viral yang belum pasti kebenarannya, dibandingkan berita umum. Sehingga kunci utama dalam memberantas hoaks tergantung pada manusia sebagai penggunanya.
Dalam ajaran Islam, seorang muslim diwajibkan melakukan tabayun yaitu mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas dan benar keadaannya.
Dilarang langsung percaya dengan sebuah informasi atau berita, sebelum benar-benar meneliti dengan seksama dan mengecek sumbernya apakah memang bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (TQS. Al-Hujurat: 6)
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang fasik itu akan berkata dusta meski terkadang mereka juga dapat berbicara benar. Maka dari itu, berita yang disampaikan tidak serta merta harus diterima atau ditolak, melainkan harus melewati tahap tabayun. Dengan tabayun, setidaknya bisa mengantisipasi atau menangkal kian maraknya berita hoaks.
Islam mengajarkan agar jangan percaya begitu saja terhadap berita dari orang lain, terlebih dari orang yang tak dikenal. Berita yang benar saja terkadang bisa dipahami salah, apalagi berita yang belum jelas sumbernya. Maka diperlukan kehati-hatian dalam mencerna berita yang didapat.
Sebagai seorang Muslim, kita senantiasa harus waspada terhadap orang-orang munafik yang bersembunyi di tengah kaum Muslim yang terus membuat rencana dan tipu daya dengan cara menyebarkan berita hoaks untuk memecah belah kesatuan umat Islam.
Keberadaan orang-orang yang menyebarkan berita hoaks itu tertulis dalam firman Allah Swt. dalam surat An-Nur ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu mengira berita bohong buruk bagi kamu bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (TQS. An-Nur: 11)
Selain itu, Islam juga melarang untuk menyebarluaskan informasi yang belum jelas kebenarannya, apalagi kalau sampai menuduh dan menyakiti hati orang lain. Dalam surat An-Nur ayat 15, Allah Swt. berfirman:
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (TQS: An-Nur: 15)
Surat An-Nur ayat 15 ini turun sebagai respon dan sekaligus jawaban atas kegelisahan Rasulullah. Ketika itu Rasul bingung bagaimana menyikapi fitnah atau berita bohong yang disebarluaskan Abdullah bin Ubay bin Salul yang menuduh Aisyah berduaan dengan Shafwan bin al-Mu’aththal al-Sulami.
Di tengah kebingungan itu, Allah Swt. menjelaskan kepada Rasulullah melalui surat An-Nur ayat 11 sampai 22 bahwa Aisyah benar dan tidak berbohong. Yang berbohong itu justru kaum munafik seperti Abdullah bin Ubay.
Allah Swt. juga mengecam perilaku orang-orang yang menyebarluaskan informasi tanpa mengetahui detail persoalan dan kebenaran informasi, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." ( TQS. Al-Isra: 36)
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan petunjuk kepada umatnya dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan, termasuk cara menangkal berita hoaks dengan melakukan tabayun terlebih dahulu.
Masyarakat jangan mudah percaya ketika mendengar atau mendapatkan informasi sebelum melakukan tabayun. Setidaknya melalui proses tabayun bisa mengantisipasi atau menangkal kian maraknya berita hoaks.
Namun selain peran masyarakat tentunya perlu juga peran pemerintah dalam menangkal hoaks. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan di bidang informasi harus melakukan verifikasi terhadap situs dan pernyataan masyarakat lewat media sosial. Bila ada indikasi menyebarkan hoaks, maka pemerintah perlu menyelidiki berita tersebut agar tidak meresahkan masyarakat.
Selain itu memproses secara hukum para penyebar hoaks dengan sanksi yang tegas agar pelaku bisa berpikir ulang terlebih dahulu sebelum menyebarkan hoaks. Dan pemerintah juga harus menjamin perlindungan hukum terhadap warga yang melaporkan indikasi penyebaran hoaks.
Tidak hanya masyarakat dan pemerintah yang harus aktif bertindak melawan hoaks, peran media pun sangat penting. Media sebagai garda terdepan penyebaran informasi harus benar-benar menampilkan berita-berita yang valid, kredibilitas, detail dan lengkap dalam menyajikan berita ketimbang berita yang bersumber dari media sosial.
Pada akhirnya, semua pihak harus bahu-membahu dalam rangka melawan hoaks. Agar masyarakat tidak terus-menerus mengalami kebingungan akan hoaks di tengah pandemi yang kerap kali muncul di media sosial.*