Oleh:
Eva Arlini, SE
Anggota Komunitas Revowriter
CORONA telah mengguncang perekonomian seluruh dunia. Rasa empati sangat dibutuhkan saat ini. Diharapkan semua pihak saling peduli, berupaya saling menolong dan meringankan beban sesama. Namun masyarakat terpaksa harus mengelus dada dengan sikap Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) yang tampak minim empati. Pertama, BPJS masih belum menurunkan iuran sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang dibacakan pada 27 Februari 2020. Kedua, BPJS Kesehatan masih terus melakukan tagihan kepada anggota yang menunggak iuran.
BPJS berbuat demikian berpegang pada sejumlah alasan. Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf, Pemerintah dan Kementerian terkait sedang dalam proses menindaklanjuti Putusan MA tersebut dan sedang menyusun Perpres pengganti. (https://finansial.bisnis.com/, 05/04/2020).
Mengenai iuran bulan April, yang sudah terlanjur dibayar masyarakat dengan tarif baru tersebut, pengembaliannya menunggu salah satu dari dua hal. Pertama, bila pemerintah menerbitkan aturan baru sebagai payung hukum bagi BPJS Kesehatan dalam menyesuaikan iuran. Kedua, setelah 90 hari sejak keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan iuran tersebut ditayangkan di laman website MA. Sesuai peraturan kata beliau, BPJS sebagai tergugat diberi waktu 90 hari untuk mengeksekusi Putusan MA. Kalaupun pengembalian iuran lebih bayar benar-benar terjadi, tidak dilakukan secara tunai. Melainkan akan menjadi iuran bulan berikutnya.
Komentar berbeda datang dari Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro. Beliau mengatakan bahwa keputusan MA mengenai pembatalan kenaikan iuran BPJS seharusnya berlaku sejak dibacakan yaitu 27 Februari 2020. MA membatalkan kenaikan iuran BPJS karena Perpres yang baru terbit tersebut bertentangan dengan sejumlah ketentuan diatasnya antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jadi menurut beliau nasabah BPJS telah melakukan lebih bayar untuk dua bulan (Maret dan April) bukan 1 bulan (April). (https://www.posmetro-medan.com/, 25/04/2020).
Kesehatan Tanggung Jawab Negara
Sikap BPJS yang tega membebani rakyat dengan iuran meski di tengah wabah menjadi cermin kerusakan sistem kapitalis sekuler. Sistem kapitalis sekuler memiliki pandangan baku terhadap peran negara. Fungsi negara menurutnya hanya sebagai regulator, bukan secara penuh mengurus rakyat. Sehingga segala pelayanan masyarakat diurus pihak swasta. Hasilnya, kebutuhan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan harus ditanggung secara pribadi oleh masyarakat. Kalaupun ada keringanan bagi rakyat amat miskin yang mendapat subsidi dari negara, konsekuensinya pelayanan yang diberikan akan minimalis. Maka orientasi bisnis inilah yang melemahkan rasa empati pemerintah. Sampai-sampai hanya untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS saja pun pemerintah terkesan sangat berat.
Dalam pandangan Islam, negara diumpamakan seperti penggembala. Seorang penggembala bertanggungjawab penuh mengurusi gembalaannya. Seperti itulah seorang pemimpin (khalifah). Dia adalah seseorang yang diamanahkan Allah swt untuk menjamin kesejahteraan seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Dia tak akan tega menyusahkan hidup rakyatnya sebab ia takut kelak Allah swt akan meng-hisab perbuatannya.
Rasulullah saw bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad)
Tak heran profil pemimpin Islam masa lampau begitu perhatian pada rakyatnya. Pada rakyat dari golongan pria yang memiliki kemampuan mencari nafkah, didorong dan difasilitasi untuk bekerja ataupun berwirausaha. Agar kebutuhan primer mereka dapat terpenuhi serta berpeluang pula untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka. Kepada rakyat yang lemah karena tak memiliki keluarga sebagai penanggung nafkahnya, maka negara secara langsung menjamin kebutuhan sandang, pangan dan papannya.
Sementara untuk kebutuhan kolektif masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, diberikan secara cuma-cuma oleh negara. Tak hanya pelayanan secara gratis, namun kualitas pelayanan pun bermutu tinggi. Tak ada rumah sakit dengan kamar-kamar pasien yang terbagi atas kelas. Semua disediakan dengan kualitas yang sama. Biaya pelayanan tersebut berasal dari baitul mal atau kas negara. Perlu diketahui bahwa sumber kas negara yang utama bukanlah dari pungutuan terhadap rakyat sejenis pajak. Melainkan jenis-jenis pemasukan negara yang sudah ditetapkan hukum syara’ seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, ghanimah, kharaj, fa’i dan lain sebagainya.
Sejak masa Rasulullah saw pemberian jaminan kebutuhan rakyat telah dilakukan. Saat itu ada delapan orang dari Urainah yang datang ke Madinah menyatakan keislaman mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Rasulullah saw kemudian memerintahkan mereka untuk di rawat di sebuah kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal. Mereka diberi minum susu ternak tersebut hingga sehat kembali.
Rasulullah saw pernah diberi hadiah seorang dokter oleh Raja Mesir, Muqauqis. Lalu Rasulullah saw menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Tidakkah kita merindukan diterapkannya kepemimpinan Islam?