Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga kini masih berlangsung di beberapa daerah, yang hasilnya belum terlalu signifikan dalam pencegahan percepatan covid-19.
Seiring belum tampak signifikannya hasil PSBB, muncul kebijakan baru Pelonggaran Moda Transportasi Umum (PMTU) dari Menteri Perhubungan (Menhub) yang menimbulkan kerancuan.
Dengan PSBB, warga diimbau untuk disiplin tetap diam, bekerja dan beribadah di rumah. Hingga shalat fardlu berjamaah, jum'at dan tarawih pun dilaksanakan di rumah. Namun, tiba-tiba muncul kebijakan PMTU oleh Menhub yang kontrovisial.
Diakui atau tidak, ada perbedaan orientasi antara PSBB dengan PMTU. Dari awal orientasi PSBB adalah percepatan penanganan pencegahan penyebaran wabah covid-19, yang di dalamnya termasuk membatasi pergerakan sosial. Fokus utama PSBB jelas pada perlawanan terhadap wabah virus yang satu ini.
Sedangkan orientasi PMTU adalah upaya menahan tidak terpuruknya ekonomi nasional yang lebih parah lagi, karena sebelum wabah covid-19 pun diakui atau tidak, memang kondisi ekonomi nasional sudah sangat mengkhawatirkan.
Pemaksaan digulirkannya kebijakan PMTU layak kiranya disebut sebagai kebijakan yang ambigu, sekaligus dapat menjadi potret atau gambaran kegamangan pemangku kebijakan negeri ini dalam penanganan wabah virus yang satu ini.
Wajarlah jika kemudian tidak sedikit elemen masyarakat dalam hal ini ummat Islam yang menuntut untuk juga bisa kembali melakukan ibadah di masjid terlebih memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Pertanyaannya, masih bisakah kita berharap PSBB akan berjalan efektif, sementara PMTU juga dijalankan?