View Full Version
Kamis, 14 May 2020

Jaminan Halal Tanggung Jawab Negara

 

Oleh:

Imroatus Sholihah

Aktivis Muslimah – Ummu warabatul bayt

 

MASYARAKAT kembali diresahkan dengan beredarnya daging babi yang dipalsukan menjadi daging sapi. Hal tersebut terungkap setelah Satreskim Polresta Bandung melakukan penyelidikan berdasarkan laporan dari masyarakat setempat, bahwa di wilayah Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung terdapat aktivitas penjualan daging babi. Polresta Bandung akhirnya mengamankan empat pelaku. Selama setahun mereka telah menjual dan mengedarkan 63 ton daging palsu tersebut. Mereka mengolah daging babi hingga menyerupai daging sapi dengan menggunakan boraks. (CNN Indonesia – 11/05).

Kasus ini bukanlah yang pertama kali, Juli tahun 2019 lalu juga terjadi pemalsuan daging sapi dengan oplosan daging babi di wilayah Metro, Lampung. (Radar Lampung – 24/07)  Menurut Direktur LPPOM MUI ada beberapa faktor yang memungkinkan menjadi pemicu, diantaranya tingginya permintaan dan suplai serta lemahnya penegakan hukum.

Meningkatnya  permintaan terhadap konsumsi daging menjelang hari Raya juga dimanfaatkan untuk meraup keuntungan. Masyarakat yang tergiur dengan harga murah pun tak terelakkan dapat tertipu dengan penjualan daging palsu tersebut. Pemalsuan daging yang haram menjadi seolah-olah halal merupakan tindak pidana, maka perlu ada tindakan yang tegas agar tidak kembali terulang dan pelaku mendapakan efek jera. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim, wajar bila isu halal menjadi isu yang sensitif. Terus berulangnya persoalan ini menunjukkan ada yang salah dalam managemen produk halal.

Dalam pandangan Islam, babi telah diharamkan secara mutlak baik zat maupun pemanfaatan seluruh bagiannya. Sebagaimana dalam QS. Al Baqarah ayat 173 dan QS. Al Maidah ayat 3, Jumhur Ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan lahmul khinziir merupakan tubuh babi secara keseluruhan, baik daging, darah, kulit, tulang, lemak, dan bagian tubuh lain yang dapat dimanfaatkan. Disini persoalannya bukan hanya daging babi saja yang beredar, bagian lain pun masih banyak beredar dalam produk tambahan dalam makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetik. 

Masyarakat Butuh Jaminan Produk Halal

Keresahan yang dialami masyarakat tentu akan terus ada selama jaminan halal belum tegas ditetapkan. Disatu sisi pemahaman masyarakat terhadap konsep halal masih rendah, ditambah dengan tidak adanya aturan negara yang melindungi mereka dari beredarnya produk-produk yang tidak halal.

Konsep Islam dalam memandang makanan tidaklah sembarangan. Apa yang masuk ke dalam tubuh  dapat mempengaruhi fisik dan perilaku manusia. Islam mengatur Muslim untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib, menjauhi yang haram dan meragukan. Sebagaimana Allah memerintahkan, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan, karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.”

Meski sudah ditetapkan Undang-undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal  (JPH)             ternyata dalam implementasinya aturan tersebut tidak dapat terwujud. Semestinya peredaran daging ilegal tidak terjadi lagi, hal ini menjadi bukti bahwa adanya aturan namun dalam penerapan belum sejalan. Adanya kepentingan segelintir pihak yang culas dalam memanipulasi regulasi menjadi polemik untuk mewujudkan jaminan halal bagi masyarakat.

Dengan demikian adanya aturan yang jelas dan penerapan yang tegas menjadi suatu hal yang mutlak untuk mendapatkan jaminan halal atas semua produk yang dikonsumsi masyarakat. Islam menjadikan urusan ini sebagai tanggung jawab dari negara, sebagai bagian kewajiban negara dari perlindungan terhadap agama. Sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah saw :

“Sesungguhnya Imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)

“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya.” (HR. Muslim & Ahmad)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa urusan ini merupakan bagian dari urusan penguasa. Di mana mereka wajib melindungi dan menjamin rakyatnya dari mengkonsumsi yang halal. Penguasa akan menerapkan aturan yang jelas berdasarkan syariat Islam, dan memberikan sanksi yang tegas apabila terdapat pelanggaran.

Sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah, memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim (Al Amwaal, Abu Ubaid hal. 265). Ini dalam rangka melindungi umat dari mengkonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan.

Penerapan sistem ini hanya mampu dilaksanakan oleh negara yang menjadikan Syariat Islam sebagai landasannya. Sebab negara ini akan amanah dalam menjalankan tanggungjawab demi melindungi rakyatnya. Wallahu a’alam.*


latestnews

View Full Version