View Full Version
Rabu, 20 May 2020

Kenaikan BPJS: Bukti Solidaritas yang Tak Berbalas

 

IURAN BPJS kembali naik hingga dua kali lipat untuk golongan I dan II dan berlaku mulai 1 Juli 2020, sedang golongan III akan naik pada 2021. Iuran kelas I ditetapkan Rp 150.000 per orang per bulan untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran kelas II ditetapkan sebesar Rp 100.000 per orang per bulan. Sementara, kelas III ditetapkan Rp 25.500 dan akan menjadi Rp 35.000 pada tahun 2021 dan seterusnya detikFinance (15/5).

Sebagaimana dilansir oleh CNBC Indonesia (14/5), Pelaksana Tugas Deputi 2 Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Abetnego Tarigan menuturkan bahwa kenaikan BPJS ini merupakan bentuk solidaritas rakyat kepada negara, yang menjadi penting dalam kondisi seperti ini. "Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini. Yang menjadi penting itu perlu dimonitor oleh masyarakat, setelah ini dijalankan hal-hal buruk apalagi yang masih terjadi," ujarnya.

Melihat fakta yang kian miris di tengah kondisi krisis ini maka wajar jika Din Syamsuddin, sekretaris umum Majelis Ulama Indonesia periode 2000-2005, sampai mengeluarkan pernyataan bahwa penetapan kenaikan iuran BPJS ini adalah sebagai bentuk kezaliman yang nyata. "Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat," tuturnya (VIVA.co.id 15/5).

Setidaknya ada dua poin yang bisa kita soroti dari peristiwa ini. Pertama, sejak awal kemunculannya BPJS memang banyak menuai kontradiksi. Menjadi wajar sebab negara sejatinya menyerahkan tanggungjawab atas jaminan kesehatan masyarakat kepada masing-masing pribadi. Kedua, tidaklah etis bagi negara “memalak” rakyat ditengah kondisi krisis seperti ini. Sudahlah untuk memenuhi kebutuhan hidup susah apalagi menanggung iuran BPJS yang kian meninggi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa BPJS memang merupakan pengalihan tanggungjawab negara kepada setiap individu secara mandiri. Fasilitas kesehatan dikapitalisasi dan rakyat dituntut untuk memenuhi sendiri kebutuhan mendasarnya ini. Sungguh dalam pengaturan Islam hal yang demikian itu tidak akan pernah kita temui.

Aturan Islam menuntut negara bertanggungjawab penuh dalam menjamin kesehatan masyarakat. Hal ini nampak jelas pada pengadaan fasilitas-fasilitas kesehatan oleh negara yang disediakan secara gratis ketika Islam diterapkan secara komprehensif pada masanya. Sebut saja rumah sakit yang dibangun di Kairo oleh Khalifah Al-Mansyur pada tahun 1248 M yang mempunyai kapasitas hingga 8000 tempat tidur. Layanan berupa obat-obatan dan makanan diberikan secara gratis, disamping juga pakaian, bahkan uang saku yang cukup selama perawatan. Perawatan terhadap pasien juga tidak mengenal batas waktu. Perawatan terus dilakukan hingga pasien benar-benar sembuh dan sehat. Rumah sakit ini juga tidak pernah membedakan ras, warna kulit, dan  agama. Bahkan selain masjid juga disediakan kapel bagi yang beragama Kristen. Lantas darimana pembiayaannya? Dari pengelolaan secara mandiri sumber daya alam yang melimpah di setiap negeri kaum muslimin, yang kemudian dikumpulkan dan dikelola secara apik dalam pos-pos baitul maal.

Poin berikutnya, memaksa rakyat hadir untuk negara di saat negara sedang sulit adalah tindakan yang sangat tidak etis. Kondisi ini berbalik 180⁰ dari kewajiban negara yang sesungguhnya yang kini kian berusaha untuk ditepis. Negara yang pada hakikatnya berkewajiban menjadi penopang hidup rakyat, pengurus urusan mereka, penjamin kesejahterannya justru wajib hadir secara mutlak untuk meringankan beban rakyat di tengah kondisi krisis. Bukan malah berbantah dengan dalih keuangan negara yang semakin menipis.

Di sisi lain kita dapati proyek pemindahan ibu kota dan kartu prakerja dengan anggaran fantastis masih berjalan. Bukankah merupakan sebuah ketidaktepatan? Negara yang sedang minim pemasukan harusnya menggunakan anggaran dengan bijaksana dan penuh pertimbangan, bukan malah salah memprioritaskan. Selama ini yang senantiasa digaungkan adalah agar masyarakat menjaga kesehatan dan keselamatan dengan berbagai cara yang bisa mereka upayakan, namun jika negara memang menempatkannya sebagai sesuatu yang sangat penting lantas kenapa anggaran tidak dialokasikan? Dialokasikan pada kebutuhan yang lebih mendesak seperti penanganan Covid-19 dan penjaminan kesehatan masyarakat untuk menekan jumlah korban dan angka kematian.

Tiadalah sebanding pemindahan ibu kota dan kartu prakerja disandingkan dengan nyawa. Ditambah lagi fakta bahwa kebijakan kartu prakerja banyak menuai kontra. Bagaimana tidak, selain dari sejumlah uang yang masih harus dibayarkan oleh para peserta, materi yang didapatkan pun dirasa tiadalah setara, tersebab materi serupa banyak bersliweran di youtube yang bisa didapati secara gratis adanya.

Di tengah kondisi pandemi yang semkain runyam dan tak kunjung bisa dipastikan kapan akan berakhir, telah nyata dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, utamanya ekonomi. Banyak di antara mereka yang sumber penghasilannya tak lagi didapati. Tiada lain sebab terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan dirumahkan yang sejak lama telah disoroti. Sedang kebutuhan hidup tak pernah mengenal toleransi, maka “memalak” rakyat di kondisi seperti ini sungguh perbuatan yang keji.

Jika kita melihat pada pengaturan Islam, maka sepanjang sejarahnya tidak akan kita temui adanya “pemalakan” yang dilakukan oleh negara kepada rakyat sebagai bentuk solidaritas rakyat kepada negara. Dalam sistem Islam negara dalam wujud para pemimpinnya menyadari betul posisinya sebagai pelayan rakyat, bukan sebaliknya. Ketaqwaannya pada Allah ﷻadalah jaminan pelayannya terhadap rakyat. Ia sadar betul bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kepala yang berada di bawah naungan kepemimpinannya. Dengan demikian maka negara akan hadir dengan sungguh di setiap pengurusan urusan rakyat.

Jika keseriusan pelayanan negara pada rakyat telah diwujudkan secara tuntas, maka kepuasan rakyat atas pelayanan negara akan berbuah pada kecintaan dan solidaritas. Solidaritas murni tanpa adanya pemaksaan negara yang bersifat culas. Sebab kita tahu betul jika terdapat pemaksaan di dalamnya, maka menjadi jelas ialah bukti solidaritas yang tak berbalas. Hadanallahu waiyyakum.*

Muntik A. Hidayah

Aktivis Dakwah Kampus dan Pegiat Literasi


latestnews

View Full Version