Oleh:
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan
PERNYATAAN dari Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana patut menjadi perhatian kita. Dilansir dari laman tempo pada 1 Mei 2020, kasus narkoba di Jakarta pada bulan April naik 120 persen. Artinya, ada peningkatan pengguna selama pandemi. Sebanyak 46 kilogram sabu dan 65 ribu pil ekstasi turut diamankan sepanjang April 2020.
Jika membuka laman pencarian dan mengetik kata kunci "narkoba", kita bisa melihat berita-berita pengungkapan kasus narkoba. Yang mencengangkan, kasus narkoba yang terungkap nyaris selalu ada setiap hari dan terjadi di berbagai daerah.
Yang terbaru, Satgasus 'Merah Putih' Bareskrim Polri membongkar sindikat sabu seberat 402 kilogram atau senilai Rp 480 miliar di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi (detik.com, 05/06/2020). Sabu-sabu itu dikemas dalam bentuk bola-bola dan berasal dari jaringan internasional.
Satresnarkoba Polrestabes Surabaya menembak mati bandar narkoba berinisial HIS (39) karena melawan petugas saat hendak ditangkap. Petugas mengamankan barang bukti narkoba berupa sabu-sabu sebanyak 100 kg (jatim.sindonews.com, 06/06/2020).
Melansir dari cirebon.tribunnews.com (06/06/2020), selama tiga minggu Polres Cirebon melakukan operasi dan menangkap 10 bandar narkoba. Dari 10 itu, 9 jualan sabu dan 1 orang jualan ganja. Barang bukti seberat 102,75 gram sabu ikut diamankan bersama pelaku. Mereka mendapat untung 1,5 juta tiap satu gram sabu. Para bandar sabu itu mengaku mendapatkan barang dari Bogor dan Jakarta.
Belum lagi dengan berbagai penggrebekan di beberapa rumah mewah yang dijadikan pabrik narkoba. Di Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan lain-lain. Bahkan ada juga yang terlibat dengan jaringan Malaysia.
Bisnis narkoba memang menggiurkan. Contohnya sabu, uang 1,5jt bisa dimiliki hanya dengan menjual 1 gram sabu. Lebih mahal dari harga perhiasan emas. Ini yang membuat banyak orang lebih memilih bisnis narkoba daripada yang lain.
Terlebih di saat pandemi. Ketika banyak pekerja yang di PHK. Ditambah dengan dilepaskannya 30.000 lebih narapidana. Sementara tak terjaminnya kebutuhan dasar manusia, di satu sisi perut keluarga harus diisi. Berbisnis narkoba akhirnya menjadi opsi yang dipilih. Ini alasan pertama mengapa bisnis narkoba laris manis di masa pandemi.
Kedua, ketidakpedulian dari masyarakat membuat bisnis ini subur. Kebanyakan pabrik narkoba selalu berada di perumahan elit dan mewah. Sifat individualisme, tidak peduli pada orang lain. Entah khawatir mengganggu atau memang tak mau tahu alias cuek. Hingga pabrik narkoba di hadapan atau di samping rumah sendiri pun tak tahu.
Ketiga, hukum yang masih bisa ditawar. Jajaran kepolisian beserta BNN sudah massif mengungkap kasus narkoba. Masalah selanjutnya ada pada proses pengadilan. Menjadi rahasia umum, duit bisa menjadi pengurang hukuman tindak kejahatan. Yang mendapat hukuman berat justru pedagang, kurir, yang kecil-kecil. Sementara bandar yang besar, apalagi berlabel internasional, sering terlalu licin untuk ditangkap dan terlalu kebal untuk dihukum.
Ketiga alasan di atas merupakan buah peradaban kapitalisme. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, adanya produksi karena ada permintaan. Tanpa perlu ada standar baik buruk, apalagi halal haram. Mereka tetap akan produksi meskipun dampaknya merusak. Selama masih ada yang menginginkan narkoba, selama itu pula narkoba akan tetap diproduksi. Meskipun efeknya merusak akal manusia.
Hukuman seumur hidup penjara atau hukuman mati telah menghadang pebisnis narkoba. Namun hukuman itu dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas dalam menjangkau hakikat. Hukuman mati saat ini dianggap melanggar HAM dan mulai diungkit untuk dihapuskan.
Di penjara? Enak makan, enak tidur, enak ngobrol sambil mengatur strategi kejahatan yang lebih hebat. Bahkan di penjara pun masih ditemukan peredaran narkoba. Tak ada efek jera dan mencegah orang lain berkecimpung di bisnis narkoba.
Jadi, bisnis narkoba takkan bisa hilang selama sistemnya masih kapitalisme. Sistem yang tak memiliki itikad baik untuk menjaga akal manusia. Karena orientasi materi dan berasas sekularisme yang membuat peradaban ini tidak manusiawi. Buktinya, rela melihat orang lain rusak asalkan duit mengalir padanya. Jahat.
Kita perlu sistem yang memanusiakan manusia. Peradaban yang melahirkan manusia berkepribadian utuh. Sadar diri sebagai makhluk dan mau mengambil aturan Sang Pencipta demi kebaikan dirinya.
Itulah sistem Islam. Penerapan Islam kaffah di peradaban Islam, mampu menjaga akal manusia. Narkoba setara dengan khamr. Sebagaimana hadits Rasul saw.: Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Setiap hal yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram.” (H.R. Muslim).
Dalam surah Al-Maidah ayat 90, Allah bahkan mengkategorikan meminum khamr sebagai perbuatan setan. "Wahai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan."
Untuk itu, setip manusia beriman akan berusaha menghindari perbuatan yang dilarang Allah. Jangankan menjadi bandar atau yang membuat narkoba, mengkonsumsi pun tak berani. Masyarakat juga mengawasi, mencegah agar tak ada narkoba di lingkungannya.
Berhubung sistem Islam adalah sistem yang manusiawi, tentu ada saja individu yang berbuat maksiat. Disinilah pentingnya sistem hukum yang tegas. Bersumber dari yang menciptakan manusia, jelas tak ada kepentingan manusia di sistem hukum Islam. Sehingga, produk hukumnya jelas mampu memberi efek jera dan mencegah kemaksiatan. Dengan sistem Islam kaffah, akal dan jiwa manusia terjaga. Wallahu a'lam.*