Oleh:
Nurhikmah,SEI || Guru di Bantul, DIY
PRO KONTRA terkait wacana dibukanya kembali sekolah dengan aturan New Normal Life memang sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. mendikbud akhirnya memutuskan untuk menunda membuka sekolah hingga akhir tahun. Hal sejalan dengan pendapat berbagai kalangan terkait kekhawatiran jika sekolah di buka saat ini.
Kekhawatiran itu di sampaikan diantaranya oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang merespon wacana pembukaan sekolah seiring berakhirnya masa tanggap darurat Covid-19 serta berakhirnya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah hingga transisi New Normal.
Ketua Umum IDAI, Dr. Aman B Pulungan mengatakan IDAI telah melaksanakan deteksi kasus pada anak secara mandiri hingga 18 Mei 2020. Diketahui, jumlah anak terpapar positif Covid-19 berjumlah 584 anak dan 14 anak meninggal dunia. Sedangkan jumlah PDP anak sebanyak 3.324 anak dan 129 anak PDP meninggal dunia. Artinya, anak di Indonesia yang terinfeksi dan meninggal (karena Corona) dibanding negara lain masih cukup tinggi (Kompas.com, 31/5020).
Sementara itu Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengungkapkan hasil angket yang telah diunggahnya. Dari kalkulasi yang didapatkan, 80 persen responden yang berasal dari orang tua menolak sekolah dibuka kembali saat tahun ajaran baru meski dengan aturan normal baru, para orang tua tersebut tetap khawatir karena situasi pandemi yang masih belum menentu.
Dari fakta masih yang ada dan pendapat para ahli maka kebijakan new normal dengan mengaktifkan kembali sekolah menjadi wacana yang mengerikan jika benar-benar di berlakukan. Kekhawatiran orang tua merupakan hal yang sangat wajar, mengingat di negara-negara maju saja yang ptotokoler kesehatan sudah di lakukan di sekolah dan kondisi new normal di lakukan saat benar-benar kurva pendemi melandai, saat masuk sekolah penularan covid -19 pada anak sekolah meningkatkan signifikan.
Saat akhirnya mendikbud memutuskan untuk menunda masuk sekolah bukan berarti persoalan selasai, hal yang harus di pikirkan bagaimana pemrintah di bawah mendikbud mampu memastikan kelangsungan sekolah secara on line ,yang tentu membutuhkan sarana dan dana yang tidak sedikit bagi penyelenggara pendikan maupun siswa. Masih ada sebagian maayarakat yanv memiliki anak usia sekolah yang yg tidak memiliki sarana komunikasi yang memadai di tambah biaya untuk kuota internet yang mahal akan menjadi beban samakin berat bagi masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Dengan kondisi demikian seharusnya pemerintah memberikan kebijakan yang memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bukan semakin membebani rakyata dengan naiknya berbagai kebutuhan seperti listrik, pajak dan berbagia potongan lainnya yang harus ditanggung rakyat. Karena penguasa sejati pengurus urusan rakyat bukan pemeras penghasilan rakyat.
Selain itu penundaan masuk sekolah juga harus menjadikan orang tua semakin menyadari dan siap mendampingi anak-anak untuk belajar di rumah dengan menyenangkan. Mengembalikan peran pendidikan yang utama kepada orang tua, dengan dukungan penguasa memberikan kemudahan akses pendidikan dan kemudahan dalam mencukupi nafkah keluarga melalui mekanisme ekonomi, bukan semakin membebani dengan naiknya berbagai kebutuhan hidup,sehingga orang tua malah mengabaikan pendamping sekolah anak-anaknya.*