Oleh:
Rahmi Surainah, M.Pd || Alumni Pascasarjana Unlam
JAKSA menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.
Ketika dimintai keterangan seusai persidangan, jaksa mengatakan alasan selanjutnya memberikan tuntutan ringan adalah terdakwa mengakui perbuatannya. Selain itu, kedua terdakwa telah meminta maaf kepada Novel dan keluarga. (detiknews. co,11/6/20)
Tuntutan satu tahun terhadap penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, mendapat perhatian publik termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI).
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya bisa memahami kekecewaaan masyarakat atas tuntutan dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.
Menurut Barita, putusan hakim adalah dokumen yang sangat penting bagi komisi kejaksaan untuk memberikan evaluasi menyeluruh secara komprehensif dan obyektif karena dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan tidak bisa dipisahkan dari proses penyidikan, pra penuntutan, penuntutan hingga putusan.
Terlepas dari itu, Barita berharap agar aspek keadilan publik terakomodasi secara profesional dan obyektif dalam proses penuntutan ini. Barita menyebut setidaknya dua alasan. Pertama Novel baswedan adalah aparat penegak hukum yang giat dalam pemberantasan korupsi. Kedua, pelakunya adalah aparat penegak hukum juga yang seyogyanya harus menjadi contoh ketaatan kepada hukum.
Ilusi Keadilan dalam Demokrasi
Tiga tahun dua bulan bukan waktu sebentar dalam menuntaskan kasus Novel. Terkesan berlarut-larut dan kini keputusan pengadilan sangat mengecewakan. Kekecewaan bukan hanya dirasakan oleh Novel Baswedan sebagai korban tapi masyarakat Indonesia.
Peradilan terhadap kasus Novel Baswedan dinilai irasional. Bagaimana tidak, kasus penyiraman air keras di muka dianggap tidak sengaja.
Novel Baswedan sebagai simbol pahlawan KPK, namun dari sisi peradilan kasusnya kalah dengan pelaku sebagai simbol kepolisian. Kejanggalan kasus Novel merupakan simbol kekalahan pemberantasan korupsi terhadap oligarki dan koruptor kelas kakap di Indonesia.
Ditangkapnya pelaku lapangan dan vonis satu tahun penjara tidak cukup menghilangkan dahaga keadilan terhadap kasus Novel. Bahkan terkesan hanya sekedar memenangkan kemauan penguasa agar kasus Novel berakhir.
Kasus Novel menggambarkan wajah keadilan di Indonesia semakin buram. Tidak hanya yudikatif, eksekutif dan legislatif pun andil membuat wajah keadilan di Indonesia semakin buram dalam kasus Novel atau lembaga KPK.
Hal ini bisa dilihat dari Presiden sebagai eksekutif yang mempercayakan kasus Novel kepada pihak kepolisian sedangkan pihak kepolisian adalah pihak pelaku sendiri.
Presiden sedari awal tidak merespon permintaan masyarakat sipil untuk membentuk tim gabungan pencari fakta independen dalam kasus Novel. Bahkan terakhir, Presiden percaya dengan putusan jaksa dan tidak bisa mengintervensinya.
Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun sebagai lembaga legeslatif meski tidak terlibat langsung dalam kasus Novel namun dari sisi lembaga ikut melemahkan KPK dengan resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi undang-undang.
Belum lagi dari sisi peradilan atau yudikatif yang terdapat kejanggalan. Terdakwa sebagai anggota aktif polri dibela, dicarikan pembela, dan unsur pembela akhirnya hanya divonis satu tahun penjara.
Demikianlah hukum buatan manusia, keadilan hanya ilusi yang tak akan mampu terwujud karena sistem yang dipakai adalah sistem demokrasi kapitalis sekuler liberal. Kasus Novel sebagai penegak hukum dan pelaku juga sebagai aparat hukum menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan demokrasi (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) telah menunjukkan kegagalannya dalam memberantas tuntas korupsi dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Keadilan dan Peradilan dalam Islam
Allah swt berfirman: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" ( QS Al Maidah ayat 50).
Dalam surat Al Maidah tersebut, Allah swt sudah mengingatkan akan hukum yang lebih baik, namun karena hukum buatan Sang Pencipta tak digunakan maka nihil keadilan terwujud.
Dalam Islam kejahatan seperti yang dialami oleh Novel hukumannya adalah "diqishas", di mana darah dibayar dengan darah, namun bisa juga dengan denda atau diyat apabila keluarga telah memaafkan.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwattha’nya, Rasulullah saw bersabda: “Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta”
Jika hilangnya penglihatan telah terbukti dan ahli mata menyatakan penglihatannya tidak ada harapan pulih seperti semula, maka pelaku wajib dikenai separuh diyat, yakni membayar 50 unta bagi korban.
Inilah salah satu hikmah Syariah, penerapan Syariah bertujuan untuk menjaga nyawa "hifdzun nafs", termasuk menjaga organ tubuh manusia. Syariah mengatur sempurna penjagaan dan pemeliharaan nyawa.
Adilnya hukum dalam Islam dan sanksi yang dikenakan bukan main-main, namun sanksi tegas menjadi salah satu pencegah adanya kriminalitas yang terjadi. Orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan karena beratnya sanksi yang dikenakan.
Hukum Islam bukan saja pencegah terjadinya kejahatan ketika ditegakkan, namun menjadi penebus dosa di akhirat. Semua akan terlaksana ketika hukum Islam ditegakkan dalam sebuah bingkai Daulah Khilafah, sistem yang akan menegakkan dan melaksanakan semua hukum Allah dalam semua aspek kehidupan.
Selain itu, sistem peradilan dalam Islam diatur sempurna hingga terwujud keadilan sebagaimana tercatat dalam tinta emas sejarah, ketika Khilafah Rasyidah yang pertama tegak berabad lalu.
Rasulullah saw berikrar, "seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti aku potong tangannya". Sabda ini menjadi sebuah prinsip bagi pemimpin dan Qadli (peradilan) berikutnya dalam menegakkan keadilan ketika menerapkan sistem peradilan/sanksi dalam Islam. Wallahu a’lam.*