Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan III, 12 Mei 2020 lalu, kini RUU-nya masih di tangan pemerintah dan DPR masih menunggu jawaban resmi melalui Surat Presiden yang berisi dilanjutkan pembahasan atau ditolak, yang dalam klausul aturannya tak ada istilah ditunda.
Seiring dengan disahkannya RUU tersebut, mulailah bola panas penolakan bergulir ke segala arah hingga nyaris di seluruh provinsi muncullah pernyataan-pertanyaan sikap penolakan RUU ini dari berbagai kalangan dan ormas-ormas Islam. Guliran bola panas penolakan akhirnya menggelinding kembali ke Senayan tempat awal RUU ini dirancang oleh DPR di Senayan, yang pada Rabu (24/6/2020) gerakan aksi penolakan menuju ke DPR.
Sungguh di luar nalar sehat, jika rakyat menolak RUU yang diinisiatori DPR lantas DPR-nya bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP yang kontrovesial ini.
Maka layak timbul pertanyaaan, masih pantaskah DPR mengklaim bahwa dirinya adalah wakil rakyat padahal rakyat yang diwakilinya menolak produk inisiatif para wakilnya?
Tak eloklah jika sampai terjadi antara DPR yang mengklaim mewakili rakyat malah harus bersitegang dengan rakyat yang diwakilinya. Pertanyaannya, jika ketegangan ini terus berlanjut lalu para anggota dewan yang terhormat yang ada di ruang terhormat pula saat ini, keberadaannya mewakili siapa?
Untuk tetap bisa menjaga marwah anggota dewan yang terhormat dan seiring dengan kita bersama masih harus fokus menghadapi pandemi Covid-19 yang belum juga bisa diprediksi kapan berakhirnya, kini tiba saatnya DPR dengan "legowo" menarik atau membatalkan RUU HIP dari pembahasan. Stop RUU HIP agar bola panas penolakan cepat mereda.
Selain mencabut atau membatalkan RUU HIP ini, langkah berikutnya usut sampai tuntas oknum-oknum yang menjadi inisiator atau konseptor RUU yang menimbulkan kegaduhan ini. Masih sangat memungkinkan terindikasi inisiator atau konseptornya berasal dari dalam maupun dari luar anggota dewan. Hal ini penting segera dituntaskan sebagai pembelajaran politik bagi masyarakat, sekaligus menjadi ajang bersih-bersih di tubuh partai dari para anggotanya yang patut diduga akan membangkitkan kembali faham komunisme.
Tak perlu banyak argumen lagi untuk membatalkan RUU HIP, karena Pancasila hanya tinggal pengamalannya. Bukan hanya sekadar viral di media mengklaim, saya pancasilais, tapi kenyataannya nol besar alias hanya sekadar pencitraan.