View Full Version
Jum'at, 26 Jun 2020

Keadilan Islam untuk Sebelah Mata

 

Oleh:

Mardhiyatuzakiyah || Mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang

 

BERMAIN dengan hukum rimba, mungkin inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan penanganan kasus Novel Baswedan. Hukum rimba ialah hukum yang berlaku dimana pihak yang paling kuat adalah pemenangnya, kuat dari segi harta dan takhta tentunya. Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan putusan JPU (jaksa penuntut umum) yang menuntut hukuman satu tahun penjara kepada terdakwa kasus penyiraman air keras, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.

Dikutip dari laman detiknews.com pada kamis (11/06/20) fakta persidangan mengatakan bahwa terdakwa tidak berniat untuk melakukan penganiayaan berat, mereka hanya ingin memberi pelajaran dengan menyiram cairan keras itu ke badan, namun meleset dan mengenai kepala korban sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya mata sebelah kiri secara konstan. Seusai persidangan, jaksa juga mengatakan alasan di balik keputusannya itu adalah terdakwa mengakui perbuatannya dan telah meminta maaf kepada korban dan keluarga.

Pada awalnya, memang perkara ini bak ogah-ogahan dalam penanganannya. Bayangkan saja, tiga tahun bergulir sempat tak ada kepastian hukum dari aparat kepolisian. Beberapa kali ditanya, polri menjawab dengan jawaban yang sama, masih menyelidiki sketsa-sketsa pelaku. Bahkan setelah pelaku ditangkap dan dijadikan terdakwapun, publik masih meragukan lantaran sketsa gambar berbeda dengan wajah asli pelaku. (republika.co.id pada 14/06/20)

Melihat berbagai polemik yang terjadi, sungguh menambah keyakinan bahwa hukum di Indonesia yang diberlakukan saat ini yaitu hukum demokrasi kapitalis adalah hukum rimba yang tak kunjung menemukan keadilan. Masyarakat menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak sepadan dengan efek yang dialami korban. Perlu digaris bawahi, korban merupakan tokoh penting yang berjasa dalam penanganan perkara korupsi yang kehadirannya menjadi masalah utama di ibu pertiwi. Sosok yang telah berjasa, namun penanganan kasusnya sebelah mata. Jangan tanya kaum-kaum marginal, tak jauh beda. Tak ayal, kini keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku.

Adil yang sebenar-benarnya hanya datang dari zat yang menciptakan semua makhluk yaitu Sang Khalik, Allah. Tak ada satu perkarapun yang luput dari pengamatannya. Teringat beberapa tahun silam ketika Islam menjadi satu-satunya acuan hukum di bumi. Sebutlah salah seorang Qadli bernama Syuraih yang masyhur di masa Khalifah Umar bin Khattab hingga Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia terkenal dengan kisahnya memenangkan lelaki Yahudi atas Khalifah Ali dalam perkara persengketaan perisai atau disebutkan dalam riwayat lain dalam perkara persengketaan baju besi. Bahkan disebutkan juga Sang Qadli ini kerap memenjarakan buah hatinya yang menjamin seorang fakir berhutang namun pada akhirnya tak sanggup membayar hutang tersebut.

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mejadikan Al-Qur’an, Al-Hadist, berikut Ijma dan Qiyas sebagai panduan pemutusan suatu masalah. Sumbernya adalah wahyu, metode penggaliannya adalah juga tasyri’ melalui ijtihad syar’i. Lebih dalam lagi, dalam hal sanksi (‘uqubat) dibagi menjadi empat macam yaitu: hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Hudud ialah sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku maksiat yang mana beban hukumnya sesuai dengan hak Allah. Jinayat ialah sanksi yang diberikan kepada pelaku penganiayaan badan atau anggota tubuh yang mewajibkan qishash atau diyat. Ta’zir ialah sanksi yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Sedangkan mukhalafat adalah sanksi yang diberikan kepada para penentang penguasa, seperti Khalifah, Wali, Muawwin, Wazir, dan lain sebagainya yang memiliki wewenang memberi perintah.

Kasus Novel Baswedan dikenakan ‘uqubat atau sanksi jinayat karena adanya cidera di salah satu anggota tubuh yaitu mata sebelah kiri. Dalam kasus ini pelaku harus membayar denda berupa qishash atau jika keluarga memaafkannya maka tetap dikenakan diyat (sanksi berupa harta). Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“..... Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia dikenai qawas (qishash) kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, pada hidung yang terpotong dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat.....” (H.R An-Nasa’iy)

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta”

Dengan demikian, jelaslah hukuman teradil yang layak diberikan kepada pelaku yaitu wajib dibebankan 50 unta kepada korban. Penerapan syari’ah ini semata-mata hanya untuk memelihara nyawa manusia (Hifdzun Nafs’) termasuk menjaga organ tubuh manusia. Syari’ah Islam mengatur sempurna penjagaan dan pemeliharaan kesehatan jasmani dan rohani.*


latestnews

View Full Version