View Full Version
Jum'at, 26 Jun 2020

Tes Covid-19 Beraroma Komersil?

 

Oleh :

Siti Hajar, M.Sos || Aktivis Dakwah dan Fasilitator Tahfidz

 

PROBLEM yang terjadi di negeri ini tidak pernah usai, bagaiamana tidak seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. (kompas.com).

Lagi-lagi rakyat kembali menjadi korban, dimana rakyat mengahadapi kondisi sulit dalam menghadapi covid-19 berujung kematian karena kurangnya kemampuan ekonomi dalam memenuhi kebijakan yang diterapkan oleh layanan kesehatan. Namun ini tidak terlepas dari kebijakan oleh pemerintah sendiri, Dimana pemerintah telah melakukan kebijakan bagi setiap ibu yang melahirkan wajib menjalani rapid test atau swab test negatif covid-19.

Diketahui bahwa biaya rapid test  mencapai 200.000 hingga  500.000, sementara biaya swab test sendiri mencapai 1,5 juta hingga 2,5 juta, belum lagi termasuk biaya lainnya. Ini menunjukkan bahwa test corona  bisa dibilang beraroma komersial.  Sungguh mengenasakan bagi korban mengalami hal tersebut dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam hal ini pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona. Kalau pun tidak memungkinkan, pemerintah dinilai perlu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap harga tes Covid-19 sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.

Lantas Dimana Peran Negara?

 Pada masa pandemik Corona, masyarakat sangat merasakan perlunya sebuah sistem  kesehatan yang baik. Salah satunya pelayanan rumah sakit yang complite, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.  Betapa tidak, pandemi ini mengakibatkan banyak orang terinfeksi virus sehingga  membutuhkan rumah sakit yang mampu melakukan perawatan medis secara khusus,  perlunya ruangan ruangan isolasi dan test kesehatan secara gratis.

Namun jangan berharap jika semua ini didapatkan, karena kapitalis tidak membutuhkan empati terhadap orang yang disekitarnya namun yang dibutuhkan sistem kapitalis adalah bagimana mendapaktkan keuntungan yang banyak, tidak perlu rakyat dalam kondisi terjepitpun. Sistem inilah yang dianut negara kita saat ini, maka wajar saja jika pelayanan kesehatan seperti test corona dijadikan ajang komersial.

Berbeda halnya ketika Islam menganggap bahwa setiap layanan kesehatan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, tidak melihat kaya atau miskinnya seseorang tersebut.  Bahkan  Islam yang mulia tidak membatasi kepada warga negara yang berbeda agama apapun selagi membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini berangkat dari firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra:17). Karena manusia secara umum adalah makhuk yang dimuliakan. Oleh karena itu kita harus memperhatikannya dan mengobatinya ketika mengalami kesakitan, walaupun ia bukan seorang muslim. Rasulullah pernah menjenguk seorang pemuda Yahudi yang sakit. Bahkan imam Al-Bukhari dalam kitab shahih-nya membuat bab khusus tentang hal itu, Bab Iyadah Al-Musyrik (Bab Menjenguk Orang Musyrik).

Dimensi humanisme yang kuat telah ditanamkan agama Islam kepada umatnya, menjadikan setiap pelayanan medis dalam setiap masa peradaban Islam berinteraksi dengan pasien dengan pandangan bahwa pasien adalah manusia. Interaksi dengan pasien senantiasa dijalankan dengan paradigma bahwa pasien adalah manusia yang sedang mengalami krisis dan membutuhkan pendampingan. Bantuan yang diberikan tidak hanya sebatas medis saja, akan tetapi merambah ke bantuan psikologis, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. 

pelayanan kesehatan oleh  negara melayani tanpa diskriminasi, baik berdasarkan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, ras, maupun agama. Pengobatan diberikan secara gratis. Pasien mendapatkan pelayanan berkualitas yang  memuaskan.

Adapun mekanisme dimensi humanis dalam pelayanan kesehatan dimulai dari masuknya pasien ke rumah sakit, sepanjang perawatannya hingga pasca penyembuhannya. Ketika kesembuhannya telah sempurna ia akan mendapatkan sejumlah tunjangan yang mencukupinya hingga ia mampu bekerja kembali. Hal ini agar pasien tidak memaksa untuk bekerja selama ia baru sembuh, sehingga penyakitnya tidak kambuh kembali.

Selain itu Islam juga memberikan kenyamanan yang luar biasa kepada mereka yang fakir sekalipun ketika mereka sakit. Ia akan mendapatkan pelayanan prima tanpa harus mempermalukan diri, mencari relasi atau membuat proposal agar mendapatkan perhatian dan pengobatan yang seharusnya.

Bagaimana negara mendukung pembiayaan pelayanan kesehatan yang mengagumkan ini? Disinilah keunggulan anggaran pembiayaan negara dalam sistem Islam. Selain bersumber dari kas negara Baitul Mal, negara didukung oleh amal-amal sosial berupa infak yang memancar deras dari hati umat Islam. Islam memiliki sistem perwakafan dan peran optimalnya dalam menyokong sistem pelayanan kesehatan negara. Jadi yang namanya beraroma komersial tidak akan pernah terjadi  dalam sistem Islam termasuk dalam pelayanan kesehatan  bagi rakyat yang membutuhkan.*


latestnews

View Full Version