Oleh:
Mimin Diya || Guru Pendidik di Surabaya, Jawa Timur
TELAH beredar surat keputusan menteri agama terkait pengaturan kurikulum pelajaran pada tingkat jenjang pendidikan madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA). Terdapat satu poin penting terakhir yang ramai diperbincangkan setelah beredarnya surat tersebut. Poin tersebut berbunyi :
Dengan berlakunya Keputusan Menteri Agama (KMA) 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019, maka mulai Tahun Pelajaran 2020/2021 KMA Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah sudah tidak berlaku lagi.
Awalnya sebagian masyarakat menganggap akan terjadi penghapusan mata pelajaran PAI dan bahasa arab. Namun ternyata yang dimaksud ialah tidak berlakunya peraturan lama (KMA nomor 165 tahun 2014), karena telah diganti dengan KMA nomor 183 tahun 2019.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag), A Umar, menyatakan bahwa mata pelajaran dalam pembelajaran PAI dan Bahasa Arab pada KMA 183 Tahun 2019 sama dengan KMA 165 Tahun 2014. Mata Pelajaran itu mencakup Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab.
Hal tersebut dari sisi persamaan. Sementara Umar juga menjelaskan bahwa perbedaan KMA 183 dan 165 lebih pada adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad 21. Hal ini termasuk dari rancangan pembaharuan kurikulum madrasah.
Kementerian agama memang sedang sibuk dalam menyusun materi agama yang hendak diajarkan kepada generasi bangsa. Bahkan sejak September 2019 lalu telah melakukan upaya revisi 155 buku pelajaran. Menteri agama, Fachrul Razi, menyatakan bahwa upaya itu dilakukan setelah menemukan pelajaran yang tak sesuai konteks zaman, seperti khilafah dan jihad. Meskipun tetap dicantumkan materi khilafah, namun buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia. (aktualitas.id, 7/3/2020)
Tujuan utama kementerian agama ialah adanya progam moderasi beragama. Inilah maksud dari menanamkan Islam yang sesuai perkembangan kehidupan abad 21 di tingkat sekolah. Alhasil modul yang disusun pun mengaruskan pada Islam wasathiyah atau Islam moderat. Bahkan dalam modul berjudul "Membangun Karakter Moderat" tercantum pemahaman yang mengarah pada isu toleransi dan pluralisme.
“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” kata Fachrul Razi
Tepatkah progam moderasi beragama?
Dalam konteks yang diaruskan, moderasi beragama ditujukan untuk menjaga kebhinekaan dan diperlukan untuk membendung tantangan yang datang dari kelompok radikal. Bahkan mendorong pula pada arus pemikiran moderasi Islam.
Secara bahasa mudahnya , moderasi Islam dapat dipahami Islam jalan tengah. Pandangan seperti ini mengajak umat manusia mengambil jalan tengah dan melarang berbuat melampaui batas atau berlebihan dalam beragama (tatharruf). Bahkan target dalam bidang pendidikan saat ini mengarah pada pembentukan siswa moderat dan mengasah karakter keIndonesiaan.
Siswa akan dibekali pula dengan pemahaman bahwa Islam tidak memaksakan akidahnya kepada agama lain hingga membenarkan keyakinan agama dan kepercayaan diluar Islam. Tidak ada kebenaran mutlak dalam islam moderat. Seorang muslim ditanamkan harus menghormati dan menghargai kelompok agama lain. Dalam konteks ke-Indonesia-an, sikap seperti ini disebut dengan istilah 'toleransi'. Inilah makna moderasi di bidang akidah. Nampak suatu hal yang amat merusak akidah generasi muslim.
Jika mengkaji lebih dalam pandangan tersebut, secara sistematis umat islam sendiri bahkan negara seolah telah mendeskreditkan Islam. Hingga menjadikan Islam tertuduh. Seolah suatu ketaatan total dalam beragama dicap sebagai tindakan radikal. Padahal opini radikal jelas subyektif dan berbahaya karena bersumber dari pandangan negatif barat pada Islam. Istilah islam radikal sering pula disematkan pada muslim atau kelompok islam yang tidak sejalan dengan pemikiran barat.
Predikat 'moderat' sebenarnya diberikan oleh AS pada pihak-pihak yang mendukung kebijakan AS dan sekutunya. Sementara predikat 'ekstrimis, radikal, dan teroris' disandangkan pada pihak-pihak yang menantang, mengancam, dan mengusik kebijakan AS dan sekutunya. Hal ini diungkapkan oleh seorang pemikir Amerika Serikat, Noam Chomsky dalam Parates and Emperors, Old and New International Terorism in The Real World, 2002.
Dikutip dari laman tintasiyasi bahwa pada tahun 2007, Rand Corporation, sebuah badan kajian strategis yang disponsori Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon), terang-terangan menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks, yang juga didanai oleh Smith Foundation. Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh dunia.
Selain itu terdapat pula pidato PM Inggris, Tony Blair, pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris yang mempromosikan wajah Islam moderat. Adapun syarat menjadi moderat adalah mereka yang menyetujui Israel, menolak syariah, menolak kesatuan kaum muslim dalam Kekhilafahan dan mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat. Padahal semua itu merupakan hal yang bertentangan dengan pemahaman Islam yang murni.
Sejatinya, pemahaman moderasi beragama maupun moderasi islam tersebut amat berbahaya. Meskipun ide ini tidak menyerang fisik, tapi terang-terangan menyerang pemikiran. Generasi digiring dengan pemikiran mudah mentolerir gaya hidup bebas barat. Sehingga, lambat laun generasi Islam tidak dapat menyadari bahwa Islam moderat telah mempengaruhi jalan berpikir mereka.
Moderasi beragama merupakan langkah melemahkan dan mengaburkan ajaran islam yang utuh. Generasi muslim dididik mengambil jalan tengah, bukan ketaatan total kepada sang pencipta, Allah swt. Tidak bisa pula menanamkan akidah yang lurus, serta keimanan dan ketaqwaan yang tinggi pada-Nya. Pandangan moderat justru akan menempatkan generasi muslim diantara iman dan kufur, taat dan maksiat, halal dan haram.
Padahal mentaati seluruh perintah Allah swt dan Rasul-Nya adalah konsekuensi keimanan seorang muslim. Islam membimbing kaum muslimin dengan ajaran yang mulia serta memberi perlindungan harta, jiwa, akal, agama, keturunan, kehormatan, keamanan kepada segenap umat, baik muslim maupun non muslim.
Termasuk bagian mentaati Allah swt adalah mengambil seluruh syariat Islam, tanpa memilah mana yang mendatangkan manfaat maupun yang dirasa tidak. Termasuk mengambil ajaran Islam jihad dan khilafah.
Jihad merupakan kewajiban dalam rangka menyebar luaskan Islam hingga bisa menyentuh setiap pelosok negeri. Jihad sangat jauh berbeda dengan penjajahan barat yang tidak manusiawi. Termasuk khilafah pun kewajiban sebagai institusi penerap hukum islam secara kaffah dan menyatukan seluruh kaum muslimin. Keduanya murni ajaran islam yang harus dipelajari dan ditegakkan.
Alhasil, kurikulum moderasi beragama dalam madrasah wajib dikaji ulang karena pengaruh nilai-nilai Barat yang amat kuat. Suatu hal yang harus disadari bahwa para penjajah senantiasa memiliki kepentingan politik dan takut akan kebangkitan Islam, maka mereka tak hentinya mengaruskan Islam moderat supaya persatuan umat tak terwujud. Para generasi muslim pun butuh dijelaskan secara utuh betapa bahayanya pemahaman moderat, agar tidak jauh dari ajaran Islam yang mulia. Namun sebaliknya, menjadi generasi tangguh yang siap menjadi pejuang dan penjaga agama islam di garda terdepan.*