Oleh: Fitriani Nurkamalah
Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Komnas Anak mendapat banyak laporan terkait syarat usia tersebut. Imbasnya, banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah padahal siswa tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi. Hal tersebut juga berdampak pada kondisi psikologis anak, yang menjadi tidak percaya pada pemerintah karena merasa sia-sia telah belajar keras.
Miris, sengkarut PPDB zonasi kembali terjadi. Kondisi pandemi menambah kisruh karena PPDB harus dilakukan daring. Belum lagi ancaman kemiskinan yang pasti akan berimbas pada masa depan pendidikan. Berjuang mendapatkan sekolah layaknya berjuang mendapatkan makanan di tengah kelaparan. Meski ada jalur prestasi, mereka tetap khawatir karena kuota untuk jalur tersebut minim. Sebagian akhirnya harus bersiap mencari sekolah swasta jika sekolah negeri di zona mereka tak ada yang menampung. Padahal, biaya untuk bersekolah swasta tentu memberatkan.
Nyata sudah, warga menjerit akan pemenuhan hak pendidikan. Mereka mempertanyakan, mengapa negara tak mampu memberikan fasilitas pendidikan yang cukup agar semua anak usia sekolah tertampung di sekolah negeri berkualitas, tanpa harus kisruh. Benar-benar miskinkah negeri ini, hingga tak mampu memberikan pelayanan pendidikan? Ataukah tata kelola negara yang salah, di tengah sumber daya alam berlimpah, namun dikelilingi orang-orang serakah? Apa mau dikata, inilah wajah pendidikan Indonesia hari ini. Sengkarut PPBD zonasi menguatkan pesan betapa lemahnya negara mengurus pendidikan warganya. Padahal pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat.
Jika ditelusuri, problem PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara yang neoliberal. Sebagai bagian dari sistem politik dan ekonomi global, Indonesia menganut model pengelolaan kekuasaan Reinventing Government. Dengan model ini, negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. Selanjutnya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelaksana (operator). Padahal, dalam sistem kapitalis, pendidikan kerap dijadikan aset (alat) pengeruk keuntungan. Keterlibatan swasta dalam dunia pendidikan kebanyakannya didasari motivasi mencari keuntungan. Maka berharap pendidikan murah berkualitas pada swasta dalam sistem kapitalis saat ini tentu sulit.
Paradigma Negara sebagai regulator dikuatkan oleh manajemen pemerintahan yang keliru, yakni otonomi daerah. Pelayanan pendidikan termasuk ke dalam kebijakan yang pelaksanannya diserahkan kepada daerah. Seperti dalam kasus digunakannya kriteria usia dalam PPDB di DKI. Dinas Pendidikan DKI mengimplementasikan kebijakan pusat sesuai kondisi wilayah DKI yang padat penduduk dengan kesenjangan ekonomi yang cukup besar. Seleksi berdasar usia dianggap yang paling manusiawi agar semua warga yang lebih tua usianya didahulukan bersekolah. Sedangkan sisanya diharapkan bisa memanfaatkan sekolah swasta sebagai alternatif. Dalam hal ini pemerintah pusat tidak bisa mengintervensi langsung, atau pun membatalkan kebijakan daerah. Ini semua tentu berhubungan dengan otonomi daerah.
Khalifah Pelaksana Sahih
Berbeda dengan sistem kapitalis, dalam Khilafah, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan. Hal ini karena Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya. Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi Khilafah berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.
Sebagai operator (pelaksana tanggung jawab), negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta seraya berlepas tanggung jawab. Dalam negara Khilafah, sekolah swasta memang diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi amal salih di bidang pendidikan. Mereka boleh mendirikan sekolah, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun, keberadaan mereka tidak sampai mengambil alih dan menggeser tanggung jawab negara.
Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara Khilafah mengatur anggaran secara terpusat. Dengan mekanisme pembiayaan yang dikelola baitulmal, negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan. Hal ini tentu dapat meminimalisasi problem kemampuan daerah yang bervariasi. Kondisi tersebut tidak ditemui dalam sistem kapitalis saat ini. Pembiayaan guru honorer yang dikelola pemerintah daerah terbuki menjadikan pendidikan terpuruk di berbagai daerah. Padahal inilah salah satu pangkal persoalan zonasi PPDB.
Walhasil, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh. Capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban. Demikianlah, sejatinya betapa mudahnya bersekolah dalam sistem Khilafah. Sementara, sengkarut PPDB hari ini hanya menorehkan luka karena hak pendidikan berkualitas benar-benar telah terenggut. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: liputan6