View Full Version
Jum'at, 31 Jul 2020

Solusi Atasi Resesi

 

Oleh:

Aishaa Rahma

 

INDONESIA kini menghadapi ancaman resesi ekonomi, mengikuti jejak Singapura dan Korea Selatan. Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah berjuang keras agar ekonomi kuartal 2 tahun ini tidak tumbuh negatif, minimal 0 persen. Sejak awal tahun, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan pelemahan dan hanya tumbuh 2,97 persen year-on-year (yoy). Kuartal 2, pemerintah memprediksi ekonomi akan minus 4,3 persen. Jika kuartal 3 kembali negatif, maka secara teknis ekonomi Indonesia sudah dinyatakan resesi. 

 Presiden Joko Widodo pun berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa naik di kuartal tiga mendatang. Tapi kuartal 2 ini, Jokowi meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jeblok minus 4,3 persen. 

"Kita berharap di kuartal ketiga kita sudah harus naik lagi. Kalau enggak, enggak ngerti lagi saya, akan tetap lebih sulit kita," kata Jokowi saat membuka acara Penyaluran Dana Bergulir Untuk Koperasi Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional, Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 23 Juli 2020.

 

Fakta di Balik Ancaman Resesi

Tidak dapat ditampik bahwa keberadaan pandemi ini turut menjadi alasan perekonomian di Indonesia semakin anjlok. Beberapa fakta ancaman resesi berikut ini perlu dipersiapkan dengan matang agar pemerintah memiliki amunisi guna menyudahi anjloknya ekonomi tanah air. 

Menurut pendapat Airlangga, resesi di Indonesia diprediksi tidak separah negara lain. Alasannya, tidak ada negara yang aman dari ancaman resesi akibat Covid-19. Dari data yang dihimpun Airlangga, ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan beberapa emerging countries dengan penduduk besar seperti India dan Brazil. Namun, negara tetangga seperti Vietnam unggul atas Indonesia. Begitu pun Cina yang sudah rebound dan tumbuh positif pada kuartal 2 (23/7).

Meski demikian, ekonom senior Rizal Ramli menilai dampak resesi global kecil terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi, kata dia, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Thailand. Hal itu terjadi, karena Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia 60 persen berasal dari konsumsi dalam negeri. Sedangkan, ekspor hanya kurang dari 20 persen. Ungkap Rizal dalam diskusi virtual, Kamis, 23 Juli 2020. 

Selain itu, konsumsi masyarakat yang selama ini menopang ekonomi Indonesia sudah terdampak akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi ini bahkan sudah terjadi sejak kuartal 1, di mana konsumsi rumah tangga langsung jeblok ke posisi 2,84 persen yoy pada kuartal I 2020, dari posisi 4,97 persen yoy pada kuartal IV 2019. 

Sehingga, Airlangga menyebut pemerintah kini mengandalkan belanja pemerintah untuk bisa mendongkrak perekonomian. Konsumsi tetap dipacu dengan program bantuan sosial atau bansos yang sudah disalurkan secara tunai. 

Sejauh ini, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi sebesar Rp 695,2 triliun. Berbagai komponen bansos ada di dalamnya, seperti Kartu Sembako Rp 43,6 triliun sampai Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 37,4 triliun. 

Selanjutnya adalah gaji ke-13 PNS yang akan cair Agustus 2020. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan tetap berharap pembayaran gaji ini akan berdampak cukup baik pada konsumsi. Sebab, saat ini juga bertepatan dengan momen kenaikan kelas untuk anak sekolahan. 

Sehingga, ada kebutuhan untuk perlengkapan belajar dari rumah, untuk laptop, internet, dan sebagainya. "Jadi marginal prospensity to consume besar," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystalin (23/7). 

Optimisme pemerintah dalam menghadapi resesi ini patut diapresiasi. Hanya saja, perlu adanya terjun langsung ke tengah masyarakat guna melihat fakta yang terjadi. Sebab, masih banyak warga Indonesia yang terlunta-lunta akibat PHK masal, dan kini terhimpit situasi efek wabah. Sulitnya memperoleh pekerjaan di masa pandemi ini  meninggalkan masalah yang sangat serius dan kompleks.

Oleh karena itu, dibutuhkan sistem ekonomi yang memberikan jaminan kepada seluruh warga negara untuk mendapatkan kebutuhan primer dan akses untuk terpenuhinya kebutuhan sekunder, serta jaminan ketersediaan kebutuhan pokok bagi kalangan kurang mampu.

 

Sistem Ekonomi yang Shahih

Permasalahan resesi ini sesungguhnya berpangkal pada buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Karena itu, masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan tuntas melalui distribusi yang adil. Kesalahan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini lantaran pemerintah fokus pada penanganan produksi, impor dan membuka kran investasi yang berdampak pada lemahnya kedaulatan negara. 

Akibatnya, pemerintahan yang datang silih berganti termasuk di Indonesia, selalu mengarahkan pandangan pada jalan pintas dengan hutang yang melilit negara, pajak dan berbagai cara instan melalui jalur sumberdaya alam yang dikelola asing. 

Dalam Islam, menuntaskan permasalahan ekonomi memiliki berbagai instrumen agar mampu melewati kondisi resesi. Tak hanya itu, sistem ini secara detail menjaga agar perekonomian stabil serta menjamin kemakmuran rakyat. 

Diantaranya, menyelesaikan masalah kemiskinan melalui distribusi yang adil dan publik mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam yang dikelola oleh negara. Investasi dalam negeri menggantikan investasi asing, menghapus sumber inflasi, membangun industri yang berkaitan dengan kekayaan milik umum hingga mencakup teknologi militer dan pengembangan pertanian.  Hal tersebut memungkinkan terjadi bila pemerintah bersedia mengkaji secara detail sebagai langkah alternatif untuk meraih kedaulatan negeri dan terbebas dari resesi. Wallahu a'lam.*


latestnews

View Full Version