Oleh:
Fitria Zakiyatul Fauziyah Ch || Cimalaka, Sumedang
SEJAK akhir Maret lalu, puluhan juta pelajar di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi Covid-19. Penerapan sistem pembelajaran daring di masa wabah, ternyata menyisakan begitu banyak persoalan. Begitu pun kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dilansir dari NOTIF.ID, Puluhan mahasiswa Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Mahasiswa Ikopin (Asoemsi Bergerak) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ikopin, menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus Ikopin, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Anggi Agus Hanafiah, koordinator aksi mengatakan, dalam aksi tersebut ada beberapa tuntutan yang kami sampaikan kepada pihak kampus, yaitu menuntut pihak kampus untuk memberikan potongan SPP, transparansi keuangan kampus dan mendorong pihak kampus agar lebih berpartisipasi dalam pengimpletasian,pengembangan dan pembangunan koperasi berskala regional maupun nasional.(23/07/2020).
Sebelumnya juga telah terdapat tuntutan, sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UNY Bergerak menggelar aksi. Mereka mengajukan sejumlah tuntutan, salah satunya adalah pemotongan uang kuliah tunggal (UKT) karena adanya pandemi virus Corona (COVID-19).(detik.com, 03/07/2020). Sama halnya dengan Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) turun jalan menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT).
Aksi ini diikuti mahasiswa dari jenjang S1 dan S2. Mereka menggelar longmarch keliling kampus dan dilanjutkan dengan orasi di depan gedung rektorat. Nilai UKT dinilai mahasiswa terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian yang mencekik karena pandemi COVID-19. Dalam tuntutannya, peserta aksi mengklaim mewakili ribuan mahasiswa UB meminta kampus memberikan keringanan pembayaran UKT.(detik.com, 18/06/2020).
Tak cukup melakukan aksi di kampus, bahkan massa mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi di Kemendikbud. Mereka menuntut adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi yakni meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50% (detiknews, 22/06/20).
Menanggapi hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menganggarkan Rp 1 triliun untuk program dana bantuan uang kuliah tunggal. Penerima dana bantuan UKT akan diutamakan dari mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang memenuhi beberapa kriteria diantaranya: pertama, calon penerima harus dipastikan orangtua mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT. Kedua, penerima dana bantuan UKT juga bukan mahasiswa tidak sedang dibiayai oleh program KIP kuliah atau beasiswa lainnya. ketiga, dana bantuan UKT diperuntukkan mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan semester 3, 5 dan 7 pada tahun 2020 (kompas.com, 21/06/20).
Masih banyak aksi-aksi mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta yang menuntut dengan hal senada. Mahasiswa menilai kebijakan kampus kurang mengakomodir para mahasiswa yang orang tuanya terdampak secara ekonomi akibat Covid-19.
Pendidikan ditujukan untuk mencerdaskan generasi sudah seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh anak di Tanah Air ini tanpa perlu direpotkan perihal biaya. Jika biaya yang menjadi penghambat untuk terwujudnya generasi yang demikian, bagaimana nasib Indonesia di masa yang akan datang? Oleh karena itu, pendidikan harusnya diberikan negara secara gratis tanpa disertai syarat apapun, juga bukan diberikan pada saat rakyat sedang ditimpa kesulitan lantas setelahnya dipungut biaya kembali.
Pada saat ini, Perguruan Tinggi secara lembaga berbentuk badan hukum, yang bermakna bahwa pemerintah lepas tangan dalam bidang pendidikan. Karena Perguruan Tinggi diberikan kebebasan untuk menentukan pembiayaan di kampusnya. Maka dari itu, kampus dijadikan sebagai komoditas bisnis, alhasil pendidikan semakin dikomersilkan.
Perguruan Tinggi sengaja diarahkan untuk mencetak penopang mesin kapitalisme yang akan menyediakan tenaga kerjayang memiliki pengetahuan dan keahlian. Bukan sebagai pencetak para intelektual. Bahkan IKOPIN yang seharusnya pro kepada ekonomi rakyat (koperasi), pada faktanya tetap bekerja sama dengan para kapitalis besar. Apalagi dengan kebijakan "kampus merdeka" oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim yang semakin meliberalkan Perguruan Tinggi.
Jelaslah bahwa semua permasalahan bermuara dari diterapkannya Sistem Kapitalisme, dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku, pendapat, beragama dan kepemilikan). Sistem Kapitalisme yang berasakankan pada akidah sekulerisme, akibatnya pelajaran agama dan moral diajarkan di sekolah hanya sekadar ilmu, bukan untuk diemban dan diamalkan. Pendidikan dalam sistem kapitalisme ini tidak ditujukan untuk membentuk kepribadian.
Abainya pemerintah telah melanggengkan karut marut pendidikan hari ini. Pendidikan yang sudah seharusnya merupakan hak rakyat dan kewajiban penguasa sebagai bagian dari riayah bukan sebagai komoditas bisnis. Bahkan pendidikan haram dikomersilkan.
Dalam Islam, pendidikan dikelola dengan basis aqidah Islam. Aqidah Islam berkonsekuensi atas ketaatan kepada syari’at Islam. Ini bermakna tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terikat dengan ketaatan pada syari’at Islam.
Pendidikan Islam memiliki visi untuk membangun peradaban Islam, berkontribusi untuk kemaslahatan umat, serta mencetak intelektual yang berkepribadian Islam. Secara rinci, terdapat kurikulum yang diterapkan kepada peserta didik. Ada 3 hal yang harus dipenuhi, pertama, berkepribadian Islam yang merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam.
Kedua, menguasai tsaqafah Islam. Yaitu ilmu-ilmu yang menambah pengetahuan tentang islam seperti; konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam. Ketiga, menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik, seperti ilmu kedokteran, fisika, kimia, biologi, pertanian, pertenakan, dan lain-lain.
Tidak berhenti sampai disitu, untuk menghasilkan pendidikan yang maksimal maka pendidikan tidak hanya berfokus pada satu tempat saja seperti sekolah atau perguruan tinggi. Tetapi harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul yaitu antara keluarga, masyarakat dan sekolah yang mengajarkan kepribadian islam, tsaqofah islam dan IPTEK, serta negara yang akan menjamin. Dengan demikian, akan terbentuklah generasi muda yang pintar, cerdas, intelek, memiliki kepribadian Islam, berakhlak mulia dan berjiwa pemimpin.Wallaahu a'lam bish-shawwab.*