Oleh:
Vera || Mahasiswi Pascasarjana UNY
DI NEGERI demokrasi, korupsi bukan lagi hal memalukan yang harus dijauhi, menjadi koruptor adalah hal biasa, ditambah lemahnya hukum yang jelas-jelas tidak pernah membuat koruptor merasa jera, sehingga koruptor dari kalangan penguasa dan pengusaha selalu bermunculan bagai jamur yang tumbuh di musim hujan. Djoko Tjandra adalah satu dari sekian banyak koruptor yang telah berhasil mengelabuhi negara.
Ia bebas melenggangkan kaki kesana kemari, tanpa merasa bersalah dan mudah mengakses segala hal tanpa hambatan dan rintangan yang berarti. Ia berhasil sembunyi menikmati surga dunia, bebas memilih kewarganegaraan, mudah membuat surat jalan, mudah membuat e-KTP dan berbagai instrument kenegaraan lainnya.
Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa butuh 11 tahun lamanya untuk menangkap pelaku? Bukankah yang melakukan penangkapan adalah sebuah institusi negara yang memiliki kelengkapan instrument dan kekuasaan? Apakah begitu hebatnya koruptor tersebut hingga negara berada dalam genggamannya. Seharusnya negara yang berdaulat dan mengklaim memiliki penegakan hukum yang baik mampu mengendalikan seorang koruptor sebagaimana slogan yang diagungkannya bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas, bukan justru koruptor yang mengendalikan negara, karena itulah yang terjadi di negeri ini.
11 tahun bukanlah waktu yang singkat, waktu ini cukup lama bagi sebuah negara menangkap satu orang koruptor. Dan ini adalah waktu terlama yang pernah ada perlukan sebuah Negara untuk menangkap seorang koruptor. Masih segar di ingatan kita kasus Jiwasraya, kasus BLBI , kasus Pelindo II, kasus E-KTP dan banyak lagi kasus lainnya yang tidak sampai 11 tahun untuk menangkap pelakunya.
Sangat tidak wajar sebuah institusi negara memerlukan waktu 11 tahun untuk menangkap seorang koruptor, atau ini justru menjadi bukti dan mengkonfirmasi kelemahan negara dalam mengendalikan koruptor , bukannya sebuah institusi negara memiliki intelligent yang luar biasa, peralatan yang canggih, media yang memumpuni untuk biasa dijadikan instrument guna menangkap seorang koruptor. Pasalnya kasus pengalihan tagihan Bank Bali ini bukanlah kasus yang baru diselidiki dan pelakunya masih abu-abu.
Kasus ini sudah terjadi sejak tahun 1999 dan ditetapkan sebagai terpidana kasus korupsi di tahun 2009, hingga sempat berselancar melarikan diri ke Papua Nugini pada 10 Juni 2009, tapi anehnya pada saat yang sama ia juga mengajukan PK atau Peninjauan Kembali di Indonesia dan beberapa pihak mengaku sering kebobolan Djoko Tjandra dalam menembus dinding birokrasi kenegaraan, sehingga tak bisa mengendus keberadaan Djoko Tjandara di Indonesia. Hal ini sangat janggal mengingat dalam birokrasi bukan kerja sendiri, namun pegawai kepemerintahan bekerja dengan tersistematisasi, jika Djoko Tjandra bisa lolos artinya ada yang salah dengan birokrasi di negeri ini. Dan sekali lagi ini membuktikan lemahnya dinding birokrasi hukum demokrasi di negara demokrasi.
Kerugian negara dalam kasus ini bukan ratusan ribu rupiah, namun 904 miliar. Angka yang dimainkan oleh koruptor selalu angka yang fantastis dan selalu datang dari dari penguasa atau pengusaha. Skandal kasus korupsi besar bukan hanya terjadi kali ini saja, namun sudah banyak kasus-kasus yang mengawalinya seperti kasus Jiwasraya yang merugikan negara sebesar 13,7 triliun, kasus Bank Century merugikan negara sebesar 7 triliun, kasus Pelindo II merugikan negara sebesar 6 triliun, kasus Kotawaringin Timur merugikan negara sebesar 5,8 triliun, dan kasus-kasus besar lainnya.
Setiap kasus mega korupsi terbongkar selalu terdapat permainan antara birokrasi, korporasi, politisi dan pejabat negeri. Waktu 11 adalah waktu di mana mereka menyusun rencana kebusukan mereka agar kasus ini dapat tertutup rapat atau menghindari pihak hukum yang berwajib. Setidaknya ada 3 jendral Polri yang terlibat dalam kasus ini. Tiga jenderal itu adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo. Ketiganya diduga memiliki peran masing-masing dalam mengurus kaburnya sang buron Djoko Tjandra (liputan6.com). Brigjen Prasetijo Utomo diduga ikut melancarkan kaburnya Djoko Tjandra dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020.
Selanjutnya ada Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Keduanya diduga berperan dalam kaburnya Djoko Tjandra dengan menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol. Keterlibatan para petinggi polri ini sangat konyol pasalnya mereka tau kasus ini tapi justru mereka memfasilitasi dan mendukung aksi kejahatan ini. Selain ketiga Jendral di atas, terdapat satu orang Jaksa yang terbukti terseret dalam kasus ini. Mengutip Kompas TV, Kamis (30/7/2020), Kejaksaan Agung telah mencopot Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Pinangki Sirna Malasari dari jabatannya.
Apakah pejabat yang terlibat berhenti disitu? Ternyata tidak, banyak pejabat-pejabat lain yang sedang dilaporkna karena terdapat dugaan menerima aliran dana dari Djoko Tjandara untuk memuluskan aksi kejahatannya. Sedangkan untuk Korporasi yang terlibat setidaknya ada Bank Bali, PT. Era Giat Prima dan beberapa perusahaan di Group Mulia yang didirikan oleh Djoko Tjandra yang juga sedang diselidiki, hingga tulisan ini dibuat pihak berwajib masih menyelidi siapa saja yang terduga terlibat menerima aliran dana dari Djoko Tjandra. Kasus ini sangat pelik jika harus diungkap runtutannya hingga tertangkapnya Djoko Tjandra, kejahatannya tersistematis dibuktikan dengan banyaknya orang yang terlibat dari pihak pejabat negeri, birokrasi, dan juga korporasi.
“Bystander Effect” adalah teori yang sangat tepat untuk menggambarkan peliknya kasus ini hingga sebuah negara membutuhkan waktu 11 tahun untuk menangkap seorang koruptoor Djoko Tjandra. “Bystander Effect” adalah teori tentang diamnya seseorang atas suatu kejadian yang menyebabkan orang lain ikut diam atas perkara diamnya orang tersebut. Hal ini dapat dikontekstualisasikan dengan kasus diamnya para pejabat yang terlibat karena ia merasa diuntungkan oleh Djoko Tjandra, telalu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Setiap orang hanya ingin mengkayakan dirinya sendiri.
Inilah yang menyababkan sekelas negara gagal menangkap Djoko Tjandra dalam waktu singkat dan sigap. Karena kejahatan telah diamini oleh para pejabat di negeri ini, pondasi hukum menjadi runtuh, hukum yang cacat di pertontonkan dengan sangat gamblangnya. jelas ini adalah upaya sistemik yang harus kita pahami, dibutuhkan sistem yang benar agar pemberantasan korupsi dapat benar-benar direalisasikan, dan semua itu hanya ada pada sistem islam. Sebaik-baik agama yang terbukti mampu memberantas korupsi dan menyelesaikan seluruh problematika dalam kehidupan manusia.*