Oleh:
Siti Maftukhah, SE || Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
MANUSIA itu tempat salah dan khilaf. Wajar jika membutuhkan untuk dikritik. Maka jangan marah saat orang mengkritik kita.
Kritik itu tanda sayang. Jika tak ada kritik, kita tak akan mengetahui bahwa kita salah. Selamanya kita akan terus melakukan kesalahan. Apalagi jika kesalahan itu mendatangkan dosa. Maka selama itu pula kita berdosa.
Maka jangan pandang miring orang yang melakukan kritik. Terutama kritik yang membangun, bukan kritik yang menjatuhkan.
Kritik identik dengan koreksi, nasehat, muhasabah. Seorang anak kecil yang berbohong dan tidak pernah dinasehati tentang larangan berbohong, maka akan selamanya melakukan ‘berbohong’ karena tak pernah ada yang mengatakan kepadanya bahwa berbohong itu dilarang dan mendatangkan dosa baginya. Dan akan dibawanya hingga dia besar, kebiasaan berbohong.
Kritik, nasehat dan muhasabah kadang terasa pedas dan menyakitkan. Namun, jika dipikir, kritik itu perlu. Untuk mengembalikan kita ke jalan yang benar.
Apalagi ketika kritik itu dilakukan dan berdampak pada kemaslahatan orang banyak. Ya, kritik kepada penguasa. Penguasa adalah pihak yang telah diberi amanah oleh rakyat untuk mengurusi segala urusan-urusannya (rakyat). Dan saat memerintah tentu tak luput dari salah. Karena itu adalah kekuasaan manusia, yang tak luput dari salah dan khilaf.
Apa jadinya, jika penguasa tak mau dikritik, atau tutup telinga dengan koreksi atas cara penguasa memerintah rakyat. Akan cenderung represif, dzalim dan sewenang-wenang.
Rakyat tentu tak akan nyaman hidup dalam suasana yang represif, dzalim dan sewenang-wenang. Karena pada dasarnya, manusia inginnya hidup tenang, aman dan nyaman.
Itulah secara fakta bahwa kritik itu perlu. Dan hanya orang yang berfikir jernih yang mau menerima kritik, meski terkadang kritik itu terasa menyakitkan atau pedas. Karena ia mengetahui bahwa itu untuk kebaikannya. Dan ia mengetahui bahwa kritik tak selamanya adalah hal yang buruk. Bahkan itu bisa menyelamatkannya dari jurang dosa.
Sebagaimana ketika Khalifah Umar bin Khaththab membatasi mahar dan dikritik oleh rakyatnya. Sang Khalifah pun menyadari kesalahannya. Apa jadinya jika tak ada yang mengkritik Umar, pasti Umar harus menanggung dosa karena menetapkan sesuatu yang tak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah melalui rasulNya, Nabi Muhammad SAW. Apalagi jika itu dilaksanakan oleh kaum Muslim, berapa banyak lagi dosa karena satu kesalahan.
Dalam Islam, kritik itu sebagai bagian dari amar ma’ruf nahyi munkar. Banyak ayat yang menjelaskan kewajiban aktivitas ini.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu” (TQS. al-Maidah [5]: 63).
Ayat ini mengecam para ulama yang tidak melakukan amar ma’ruf nahyi munkar. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak melakukan amar ma’ruf nahyi munkar disamakan dengan pelaku kemunkaran.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (TQS. al-Maidah [5]: 78-79).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan sebab-sebab mengapa Bani Israil terkena laknat. Tiada lain karena mereka tidak mencegah kemunkaran.
Meski ayat tersebut berkaitan dengan kehidupan kaum Yahudi, namun pelajaran yang bisa diambil darinya bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslim.
“Sesungguhnya manusia ketika mereka melihat kemunkaran tetapi tidak merubahnya, maka Allah SWT akan menimpakan siksaNya kepada mereka secara merata” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Maka kritik itu adalah upaya agar kita terhindar dari siksa Allah SWT, baik pelaku maupun pengkritik. Jangan marah saat ada yang ingin menasehati, mengkritik dan mengoreksi kita, karena itu berarti keselamatan buat kita. Wallahu a’lam.*