Oleh:
Fita Rahmania S.Keb., Bd. || Aktivis Fikrul Islam
BAK sudah membudaya, aksi persekusi nyatanya masih kerap terjadi di negeri ini. Asas praduga tak bersalah pun kembali dinafikkan oleh oknum-oknum yang katanya mengelu-elukan nilai demokrasi. Seperti kasus yang tengah viral di media sosial beberapa hari terakhir ini.
Diberitakan oleh tirto.id, Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Bangil Sa’ad Muafi beserta 150 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) mendatangi rumah Abdul Halim di Desa Rembang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 20 Agustus lalu. Muafi mengklaim dalam pertemuan itu Abdul Halim mengaku sebagai kader Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pengunggah hinaan. Di sana Muafi memaksa Abdul Halim membuat surat pernyataan, “tapi dia tetap ngotot diselesaikan dengan jalur hukum."
Tak puas mendatangi rumah Abdul Halim, rombongan Muafi berpindah ke Yayasan Al Hamidy-Al Islamiyah yang dituduh jadi tempat halakah kader HTI. Sesampainya di sana mereka disambut oleh salah satu guru, Zainullah. Pemandangan yang sangat tidak pantas kembali diperagakan oleh Muafi. Dia mencecar dan memaksa Zainullah mengakui sesuatu yang mereka tuduhkan. Zainullah hanya duduk di tengah-tengah kerumunan Banser bak maling ayam yang tertangkap basah.
Dari mulutnya hanya terucap, "silahkan laporkan saja kepada pihak berwajib." Namun, Muafi nampak semakin murka dan terus melontarkan kata-kata provokatif. Sehingga tak berlebihan jika tindakan tersebut lebih layak disebut sebagai tindakan persekusi dibandingkan upaya tabayyun.
Tabayyun merupakan perbuatan yang amat mulia dalam Islam. Secara syar’iyah, tabayyun adalah upaya pencegahan tersebarnya berita bohong yang dapat mendatangkan madarat, berikut pembuat berita (al-mukhbir ‘anhu) dan penerima berita (al-mukhbir ilaihi) dari dosa adu-domba (al-namimah). Dalam prosesnya tentu harus dilakukan dengan hati-hati dan mengedepankan akhlaqul karimah (akhlak yang baik) sebagai cerminan diri seorang muslim. Tanpa meninggikan suara ataupun berkata kasar.
Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan persekusi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi merupakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Tindak persekusi tidak dapat dibenarkan sedikit pun. Apalagi untuk tujuan bertabayyun. Namun sayangnya, masih ada saja pihak yang membela tindakan persekusi berkedok tabayyun ini. Seperti pada kasus di atas, faktanya aksi kelompok Banser mendapatkan dukungan dari Menteri Agama Fachrul Razi. Ia mengapresiasi cara Muafi cs tersebut.
Bagi Fachrul, apa yang dilakukan oleh Banser Bangil merupakan cara menjaga kerukunan dan mengawal komitmen kebangsaan, dengan tetap berpegang pada koridor hukum. Pernyataan sikap ini tentu terlalu prematur, memandang belum adanya ketetapan hukum bagi pihak tertuduh, apakah benar terbukti bersalah atau tidak.
Dalam sistem kapitalis hari ini rakyat seakan sulit mendapatkan rasa keadilan. Uang dan tahta kadang tak terasa dituhankan. Seorang Menteri Agama yang berlaku sebagai wakil negara seyogyanya bersifat netral. Tidak berat sebelah, tidak bersandar pada asumsi pribadi. Justru harusnya menjadi penengah pihak yang bertikai.
Adil hanya bisa terwujud dengan sistem yang benar di mata Allah, yakni Islam. Sistem Islam menyuburkan tabayyun tanpa tercampur persekusi. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran…” (QS An-Nisaa’:135).*