Oleh:
Dina Wachid || Penulis dan Aktivis Muslimah Malang Raya
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Itulah bunyi pembukaan UUD 1945. Nampaknya cita-cita kemerdekaan untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih sulit diwujudkan hingga kini.
Mungkin secara fisik (militer) telah terbebas, namun secara non fisik (non militer) nampak jelas Indonesia masih terjajah. Asing masih menjajah negeri ini melalui tekanan ideologi dan politik, dominasi ekonomi, intervensi UU dan pemaksaan budaya. Dan utang menjadi pintu masuk para penjajah menancapkan dominasinya.
Inilah penjajahan gaya baru yang tak kalah kejamnya dari penjajahan melalui kekuatan senjata/militer. Utang luar negeri nyatanya ampuh menjadikan suatu negara tunduk patuh mengikut keinginan asing. Banyak contoh negara yang jatuh karena utang luar negeri.
Zimbabwe contohnya, harus mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Setelah negara itu gagal membayar utang US$ 40 juta kepada China. Mata uang yuan di Zimbabwe mulai berlaku pada 1 januari 2016, setelah pemerintahan Zimbabwe mendeklarasikan tidak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015.
Kemudian ada Nigeria yang harus memakai bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastrukturnya. Ini sebagai konsekuensi utang yang diambil dari China. Model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang.
Ada juga Sri Lanka, yang harus melepas Pelabuhan Hambatota ke China karena tak mampu bayar utang sebesar US$1,1 triliun. Lalu Pakistan, di mana Gwadar Port yang dibangunnya bersama China dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar terpaksa harus direlakan.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia rupanya juga tunduk dengan asing karena utang yang menumpuk.
Utang Pemerintah Pusat hingga akhir Juli 2020 tercatat sebesar Rp 5.434,86 triliun. Utang ini naik Rp 831,24 triliun atau 18% dibandingkan dengan Juli 2019 yang tercatat Rp 4.603,62 triliun.Posisi utang ini juga meningkat Rp 170,79 triliun dibandingkan Juni 2020 yang tercatat Rp 5.264,07 triliun (cnbcindonesia.com, 28/08/2020).
Meski terus bertambah, pemerintah selalu menyatakan bahwa utang Indonesia masih dalam batas aman. Tolok ukur disebut aman adalah selama rasio utang atau Debt to GDP ratio tak melebihi 60% seperti UU Keuangan Negara.
Jika berpatokan pada standar itu, utang Indonesia tentu aman. Per Juli 2020, rasio utang pemerintah baru mencapai 33,63% PDB. Sampai akhir 2020, utang praktis dipandang aman meski Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memperkirakan rasionya akan membengkak sampai 37,6% PDB. (tirto.id, 30/08/2020).
Pemikiran tersebut jelas menyesatkan dan merupakan penyangkalan dari kenyataan. Utang, seberapapun besarnya jelas menjadi tanggungan yang harus dibayarkan. Darimana uang untuk membayar utang sebanyak itu? Tentu saja dari pajak. Siapa yang membayar pajak? Sudah jelas adalah rakyat Indonesia.
Inilah yang menyebabkan mengapa negara yang berutang ke luar negeri akan memungut aneka ria pajak dari rakyatnya. Negara yang berutang, tapi rakyat yang disuruh membayar. Padahal, juga belum tentu dari utang tersebut rakyat yang menikmatinya.
Terlebih lagi utang luar negeri, menjadi alat asing untuk melakukan campur tangan dan intervensi terhadap kebijakan dalam negeri. Maka, kedaulatan negara menjadi taruhannya.
Utang Dalam Kapitalisme: No Free Lunch
Utang dan investasi telah menyetir pemerintah kita. Membuat sikap pemerintah kita tidak lagi independen. Inilah era penjajahan gaya baru. Segala kebijakan dan aturan yang dikeluarkan harus dengan persetujuan dan arahan asing.
Sistem kapitalisme yang rapuh memang mudah sekali menjerat negara-negara jatuh dalam krisis hingga harus berhutang untuk memulihkan perekonomiannya. IMF sebagai lembaga keuangan dunia seringkali hadir membantu dalam krisis namun dengan persyaratan yang bertumpuk. Syarat penyesuaian struktural IMF yang dikenal sebagai Konsensus Washington diantaranya meliputi:
Dari syarat-syarat di atas, jelas sekali bahwa dalam memberikan pinjaman/utang, asing mewajibkan adanya liberalisasi perekonomian. Peran negara dibuat seminim mungkin dalam pengaturan ekonomi dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Negara pengutang tak punya pilihan selain menuruti mau mereka.
Dalam kapitalisme sendiri, pemberlakuan kepemilikan kekayaan diatur atas dasar modal/kapital. Siapa yang punya modal dialah yang berkuasa. Semakin banyak modal yang dikuasai, maka semakin besar pula kekuasaannya.
Kebebasan yang tanpa batas dalam kapitalisme membuat individu bisa menguasai sumber-sumber ekonomi dengan cara apapun. Kebebasan kepemilikan sebagai terusan dari kebebasan individu menjadikan siapapun yang memiliki akses atas modal dan alat-alat produksi dapat menguasai dan memonopoli pasar. Hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat (punya modal) dia yang berkuasa.
Kapitalisme menjadikan pasar sebagai asas ekonomi untuk mendistribusikan barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Akses terhadap barang dan jasa hanya diberikan kepada mereka yang punya andil dalam rantai produksi. Produksi barang dan jasa terjadi secara bebas di pasar (laissez-faire). Sementara pemanfaatan hasil produksi dikhususkan bagi mereka yang mampu mengakses harga barang dan jasa yang dihasilkan.
Inilah konsekuensi dari utang luar negeri yang harus diterima negara pengutang. Membuat perekonomian menjadi liberal sesuai arahan asing penjajah. Yang jelas untuk menguntungkan kepentingan kapitalis dan asing.
Semua pinjaman, utang, investasi, bantuan apapun namanya dalam sistem kapitalis adalah tak ada yang gratis. Selalu ada imbalan dan syarat yang harus dipenuhi.
China contohnya, dalam memberikan pinjaman selalu mengikat dengan berbagai syarat. Yakni harus ada jaminan dalam bentuk asset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke China hingga pengadaan peralatan dan jasa teknis yang harus diimpor dari China. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, Asia’s Foreign Aid and Government-Sposnsored Investment Activities, disebutkan bahwa hutang yang diberikan China mensyaratkan minimal 50% dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari China.
Maka, tidak mengherankan jika produk atau perusahaan China banyak mendominasi Indonesia. Seperti halnya dalam proyek infrastruktur di negeri ini yang banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan China mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi. (Al Waie, No.185 tahun XVI, Januari 2016).
Tidak hanya modal dan peralatan saja, tetapi juga tenaga kerja asing (TKA) dari China mulai membanjiri Indonesia. Apalagi setelah keluar peraturan presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dinilai banyak pengamat lebih menguntungkan ‘orang luar’ .
Sistem kapitalis telah menjerat Indonesia agar memiliki banyak utang. Tata kelola ala kapitalis telah merusak sumber daya alam kita yang harusnya menjadi berkah. Pengelolaan sumber daya alam kepada asing membuat kita tak bisa menikmatinya. Kecuali hanya setetes. Sampai-sampai harus berutang untuk bisa membangun infrastruktur.
Merdeka Dari Jebakan Utang
Dalam Islam, negara boleh berutang jika kondisi keuangan negara dikhawatirkan adanya bahaya karena defisit. Hanya pada kondisi yang darurat saja, negara boleh berutang.
Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Meski negara boleh berutang, namun tetap harus memperhatikan syarat-syaratnya. Yaitu: tidak mengandung riba dan tidak mengancam kedaulatan negara.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qur’An surat Al Baqarah: 275).
Dalam surat An-Nisa’ ayat 141, Allah SWT berfirman: “Dan sekali- kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu’minin.”
Terbebas dari utang asing yang menjerat juga merupakan salah satu tujuan kemerdekaan menurut Islam. Dengan pengelolaan kekayaan yang dilakukan oleh negara menurut prinsip-prinsip Islam, maka seluruh kebutuhan rakyat bisa dipenuhi. Hingga kesejahteraan dan kemakmuran bisa dirasakan seluruh rakyat. SDA sepenuhnya dikelola negara, bukan diserahkan kepada swasta, apalagi asing.
Negara juga menerapkan sistem keuangan berbasis syariah, yakni Baitul Mal. Di dalamnya ada pos-pos pemasukan yang bisa menghasilkan pendapatan sangat besar tanpa utang dan tanpa penarikan pajak.
Secara garis besar ada 5 pemasukan pendapatan Baitul Mal:
1. Dari hasil pengelolaan Negara atas kepemilikan umum, yaitu: a) barang tambang; b) fasilitas umum, seperti air, padang rumput, api, dll; c) benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu, seperti sungai, laut teluk selat, dsb.
2. Dari Harta Milik Negara dan BUMN.
3. Dari pos ghanimah, fai, kharaj, jizyah, dan tebusan tawanan perang.
4. Dari zakat, infak, wakaf, sedekah dan hadiah.
5. Dari Pendapatan Insidentil (temporal), ini termasuk pajak, harta illegal para penguasa dann pejabat serta harta denda atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga Negara terhadap aturan Negara.
Lima pos ini menjadi pemasukan harta bagi Baitul Mal karena bertumpu pada sektor produktif. Negara lebih mengutamakan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Pajak dan utang hanya bersifat temporer (mendesak) dan semata untuk menutup jika ada kekurangan. .
Membangun negara yang bebas dari cengkraman utang asing sangatlah mungkin. Dan itu hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara sempurna. Penerapan Islam secara totalitas pada seluruh bidang kehidupan hanya bisa diwujudkan dengan adanya institusi negara, yakni khilafah Islamiyyah.Wallahu a'lam bish-shawab.*