Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb. Bd. || Aktivis Fikrul Islam
ANGKA perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun memang tak pernah sedikit. Selama masa pandemi Covid-19 angka perceraian juga terus merangkak naik. Dikutip dari prfmnews.id, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Aco Nur, mengatakan data pendaftaran perceraian (gugat maupun talak) pada Januari dan Februari meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada Januari jumlahnya 58.554, meningkat dari 56.813 di tahun sebelumnya.
Sementara pada Februari 2020, jumlahnya 40.472 meningkat dari 39.381 di tahun sebelumnya. Padahal pada dua bulan itu, Covid-19 belum dikatakan melanda Indonesia. Pada Juni 2020 angkanya mencapai 57.750. Angka ini naik drastis jika dibandingkan 2019 yang hanya 37.048 perceraian. Namun Aco menegaskan, angka pendaftaran perceraian yang signifikan pada Juni itu disebabkan penumpukan pendaftaran. Sebab, pada Maret sampai Mei, pemerintah menerapkan PSBB dan MA ikut menjalankan itu.
Terlepas dari masalah penumpukan pendaftaran, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah angka perceraian di negeri ini masih sangat tinggi. Banyak keluarga yang tengah berada dalam ambang kehancuran. Panitera Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, Dede Supriadi, di Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, Kabupaten Bogor, mengungkapkan bahwa sejak awal tahun 2020 hingga saat ini (7 September 2020), pihaknya menerima gugatan 4.117 (4.117 perkara) terdiri dari gugatan cerai, harta bersama, gugatan anak, waris. Tetapi, 80-90 persen (dari 4.117 perkara adalah gugatan) perceraian. Dede menambahkan mayoritas penyebab perceraian tersebut berasal dari faktor ekonomi akibat efek pandemi (COVID-19), sedangkan faktor lainnya yakni karena kehadiran orang ketiga atau kasus perselingkuhan yang lebih banyak diajukan pihak istri.
Demi menekan laju angka perceraian tersebut, Pengadilan Agama pun telah berusaha melakukan serangkaian proses mediasi bagi pasangan suami istri, namun upaya itu tidak juga membuahkan hasil.
Bukan menjadi hal yang tabu, bangsa kita malah terbiasa dengan perceraian. Padahal, perceraian merupakan sesuatu yang dibenci Allah SWT., meskipun juga tidak dilarang. Rasulullah SAW. bersabda, “Allah tidak menjadi sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.” Dan lagi: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud).
Dalam sebuah bahtera rumah tangga wajar jika dijumpai kerikil-kerikil yang menghadang. Namun, suami-istri sebagai subjek dari bahtera tersebut harus mampu mengatasinya dengan sekuat tenaga, serta mengerahkan seluruh daya upayanya. Perbaikan diri senantiasa perlu dilakukan oleh masing-masing individu demi tergapainya harapan yang menjadi doa semua orang semenjak awal diucapkannya janji suci pernikahan, yakni terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun, individu yang jauh dari pemahaman Islam tentu tak akan bisa mendalami konsep keluarga sakinah, mawaddah, warahmah ini.
Krisis pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam secarah kaffah (menyeluruh), menjadikan ajaran Islam hanya dipahami sebatas ritual saja, hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Akibatnya, ketika diuji kesulitan –termasuk pada situasi pandemi ini– tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mereka mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Segala ujian yang datang setelah pernikahan merupakan sesuatu yang harus dihadapi dengan kematangan sikap dan kematangan berpikir. Idealnya harus dihadapi dengan hati dan pikiran yang terbuka, selalu berprasangka positif, serta dengan adanya komunikasi yang baik. Semuanya menjadi kunci utama dalam sebuah pernikahan, yang akan membebaskan pasangan dari rasa curiga, pikiran negatif, dan kecemasan lainnya.
Maraknya perceraian yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab individu namun juga negara. Diterapkannya sistem kapitalis yang hanya berorientasi pada materi membuat iklim perekonomian begitu ekstrim, apalagi di masa pandemi Covid-19. Banyak keluarga yang berkurang hingga habis pundi-pundi ekonominya. Akibatnya, menyulut cekcok dalam rumah tangga yang berujung pada jurang perceraian.
Keluarga yang ideal hanya dapat terwujud dalam penerapan sistem Islam. Keluarga muslim, termasuk para ibu, harus kembali berfungsi sebagai benteng umat yang kukuh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah. Seorang istri pun tidak akan teracuni oleh bisikan-bisikan atau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dengan mengatasnamakan memandirikan perempuan.
Seorang suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik demikian pula seorang istri akan menjalankan kewajiban dan menuntut hak dengan baik. Sehingga pernikahan sebagai sesuatu yang bernilai ibadah merupakan hal yang niscaya.
Karenanya setiap keluarga muslim yang hidup di dalam sistem Islam akan berupaya maksimal untuk mempertahankan pernikahannya. Karena pernikahan bukan hanya berkaitan dengan dua orang yang menikah saja, akan tetapi berkaitan dengan kualitas generasi mendatang.*