Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Sungguh menyebalkan, menjijikkan sekaligus memuakkan hidup di tengah-tengah sebuah negeri yang bernama negeri pura-pura tapi nyata.
Bentuk sebuah negerinya nyata keberadaannya, dilengkapi dengan segala perangkatnya layaknya kehidupan sebagai sebuah negara. Tapi di dalamnya penuh dengan kepura-puraan.
Di negeri pura-pura tapi nyata ini tingkah-polah para pemangku kebijakannya sangatlah tidak bisa diharapkan oleh harapan masyarakatnya. Terjadi korupsi di berbagai lembaga, setelah para koruptornya tertangkap tidak sedikit yang pura-pura sakit saat akan menjalani proses hukumnya.
Demikian pula, tak sedikit para calon yang maju mencalonkan dirinya sebagai pemimpin daerah dalam pilkada tiba-tiba berpura-pura alim. Rajin menyambangi pondok-pondok pesantren (ponpes) dengan bernampilan layaknya kiai yang sangat peduli terhadap kehidupan di ponpes. Padahal selama ini sangatlah bersikap nyinyir terhadap kehidupan para santri.
Lebih parah lagi, di negeri pura-pura tapi nyata ini pernah terjadi sejumlah insiden yang menganiaya ulama, terulang kembali pelaku penganiayaan juga berpura-pura gila atau disuruh berpura-pura gila agar bebas dari hukuman.
Yang lebih tak masuk akal sehat lagi tatkala ketiga kepura-puraan yang disebutkan di atas terjadi, malah si pemimpin yang seharusnya mengambil kebijakan malah pura-pura tidak mengetahui.
Inilah balada negeri pura-pura tapi nyata yang sedang menjadi tren kehidupan saat ini. Di mana yang korupsi pura-pura sakit, yang maju pilkada pura-pura alim, yang aniaya ulama pura-pura gila, dan yang mimpin pura-pura tak tahu menahu.