Oleh:
Zaenal Abidin Riam || Koordinator Presidium Demokrasiana Institute/Pengamat Kebijakan Publik
PEMERINTAH secara resmi tetap berketetapan melaksanakan Pilkada serentah tahun 2020, protes dari berbagai pihak sama sekali tidak menyurutkan niatan pemerintah menunda Pilkada. Langkah pemerintah ini terbilang nekat dan inkonsisten.
Disebut nekat karena Pilkada yang digelar di tengah pandemi covid-19 berpotensi besar memicu ledakan kasus positif covid-19. Pembelaan pemerintah bahwa akan menerapkan Pilkada model baru yang tetap mematuhi protokol covid-19. Pada praktiknya di lapangan akan terlampau susah terealisasi. Sejak bakal calon kepala daerah mulai mendeklarasikan diri, kerumunan massa menjadi pemandangan biasa, aparat juga tidak sepenuhnya mampu menertibkan massa yang berkerumun.
Disebut inkonsisten, karena kebijakan pemerintah yang tetap melaksanakan pilkada, justru menabrak kebijakan sebelumnya yang fokus pada pencegahan penularan covid-19, mau mencegah tetapi membuka ruang kerumunan, logika kebijakan yang ambigu.
Kita tidak melihat adanya sebuah kegentingan yang memaksa, sehingga Pilkada harus tetap digelar di tengah pandemi covid-19. Bila berasumsi bahwa belum ada payung hukum yang mengatur penundaan pikada, maka alangkah baiknya menelaah Undang Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam Pasal 201A ayat 3 terdapat pilihan sebagai jalan keluar, yakni bahwa apabila bencana non alam belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Dalam kasus ini covid-19 masuk kategori bencana non alam. Undang Undang ini secara jelas merupakan payung hukum yang bisa digunakan pemerintah untuk menunda pilkada.
Kekhawatiran akan terjadinya kekosongan kekuasaan ketika pilkada ditunda, sebab akan banyak kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum pilkada bisa digelar kembali, juga bukan alasan yang bisa digunakan untuk tidak menunda Pilkada. Faktanya Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, bisa dijadikan dasar untuk memecahkan masalah ini. Jika kepala daerah telah habis masa jabatannya, sementara belum terpilih kepala daerah yang baru, maka akan diangkat Pj (pejabat) yang akan mengisi kekosongan tersebut, sambil menunggu kepala daerah diisi oleh pejabat tinggi madya.
Negara ini tidak kekurangan pejabat tinggi madya, jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai daerah. Pejabat tinggi madya akan bertugas sebagai Pj hingga terpilihnya kepala daerah yang baru, mekanisme seperti ini sudah sering dipraktikkan dalam sistem birokrasi pemerintahan, oleh sebab itu kekhawatiran akan terjadinya kekosongan kekuasaan tidak memiliki dasar yang kuat.
Lalu untuk siapa sesungguhnya pemerintah menggelar Pilkada? Pilkada merupakan instrumen demokrasi. Dalam negara demokrasi masih relevan untuk meminjam pandangan filsuf Italia, Cicero, ia berkata “salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi dalam sebuah Negara). Apakah sikap nekat melaksankan Pilkada di tengah pandemi covid-19 yang ganas merupakan tindakan mengutamakan keselamatan rakyat? Ah rasanya tidak, sebaliknya, tindakan tersebut berpotensi besar menjadikan rakyat sebagai tumbal.
Jangan pernah menjadikan demokrasi sebagai dalih yang merugikan rakyat. Sebab tindakan tersebut sungguh sangat tidak demokratis, jika memang berpikir bahwa Pilkada adalah hak rakyat yang mesti dipenuhi, maka penuhilah dengan cara menunda Pilkada, sebab dengan menundanya berarti pemerintah telah memenuhi hak rakyat untuk terus hidup, dan ini merupakan hak paling dasar.*