View Full Version
Jum'at, 04 Dec 2020

Pendidikan, Antara Keluarga, Sekolah dan Masyarakat

HARI guru Nasional 2020 yang diperingati bersamaan situasi pandemi covid-19, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pun mengatakan bahwa sikap yang diambil saat menghadapi pandemi akan menjadi karakter bangsa di masa depan.  Salah satunya adalah dengan terus berinovasi melangsungkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang luar biasa berat. Selama delapan bulan melalui PJJ, pasti ada keluhan dan rasa ingin menyerah. Akan tetapi yang ada para tenaga didik semakin bersemangat menjalankan pembelajaran.

Begitu juga dengan para orang tua yang begitu aktif terlibat mendampingi anaknya saat belajar dari rumah. Keterlibatan ayah dan ibu yang saling bahu-membahu memberikan motivasi dan menemani belajar merupakan hal terpenting selama menjalani pembelajaran di masa pandemi. Dia pun turut mengajak semua pihak melanjutkan kolaborasi yang telah terbentuk. Menurut Nadiem, pandemi ini telah memberikan momentum dan pelajaran berharga untuk mengakselerasi penataan ulang sistem pendidikan dan melakukan lompatan demi menghasilkan SDM unggul (JawaPos, 25/11/20).

Kolaborasi tentu sangat diperlukan untuk mencapai hasil pendidikan yang maksimal. Hal ini menjadi syarat mutlak, sebab nyatanya keberhasilan proses pendidikan tak lepas dari keterlibatan para pelaksana pendidikan yakni keluarga dan sekolah. Meniadakan peran salah satu dari mereka akan menjadikan proses pendidikan berjalan pincang. Oleh karenanya, tak cukup peran sekolah untuk mencetak generasi unggul sementara keluarga hanya menanti hasil.

Selama ini, sekolah senantiasa menjadi tumpuan harapan para orang tua untuk mendidik putra-putri mereka, dengan harapan penuh saat kembali ke rumah mereka telah menjadi pribadi yang baik. Di sisi lain, sekolah menganggap bahwa siswa telah siap secara mental menerima tugas-tugas, sehingga tak perlu lagi ada pendampingan secara khusus. Faktanya, siswa di rumah tak mendapat motivasi atau bahkan pendampingan secara langsung dari orang tua, sementra di sekolah pendampingan sendiri tak bisa berjalan maksimal lantaran jumlah siswa dan guru yang tak sebanding.

Namun, apakah kolaborasi hanya sebatas untuk tujuan nilai semata? Tak bisa dipungkiri bahwa orientasi pendidikan hari ini adalah capaian nilai tinggi. Motivasi ini mendorong sekolah untuk mencetak para siswa berprestasi, menyemangati mereka dengan berbagai even olimpiade untuk memacu semangat belajar siswa. Orang tua pun berlomba-lomba memberikan tambahan belajar untuk putra-putri mereka dengan mendatangkan guru bantu seraya berharap makin memantabkan kemampuan akademisnya.

Inilah yang kemudian menjadi pangkal problem pendidikan selama ini. Orientasi belajar yang hanya terfokus pada deretan nilai tinggi membuat orang tua kian berambisi mengharuskan anak-anak untuk meraih nilai sempurna dalam semua mata pelajaran. Guru di sekolah pun tak kalah sibuk memberikan tugas demi tugas sebagaimana tuntutan kurikulum. Pembelajaran semacam ini justru menyisakan banyak masalah. Mulai dari kebosanan hingga menganggap sekolah adalah beban.

Maka agar kolaborasi sempurna terwujud, dimana darinya dihasilkan output yang berkualitas maka tak bisa hanya memfokuskan pada pembentukan sisi intelektual semata. Berkualitas adalah tatkala siswa menguasai ilmu kehidupan dan bersamaan dengannya terbentuk kepribadian yang santun serta menguasai ilmu agama sebagai benteng diri dari tindakan amoral. Jika kini kita saksikan generasi memiliki mental yang lemah, mudah depresi hingga berujung pada bunuh diri. Bahkan yang intelek sekalipun tak segan menggasak uang rakyat dalam menjalankan amanah kekuasaannya, menghianati rakyat dengan mengesahkan undang-undang yang menyengsarakan rakyat demi tetap berada di posisi puncak, tak lain karena mengabaikan hal-hal di atas.

Oleh karenanya mewujudkan pribadi yang demikian haruslah ada sinergi positif antar pihak-pihak terkait. Jika dalam pembahasan di atas hanya menyebut keluarga dan sekolah, namun sesungguhnya masih ada satu lagi yakni keterlibatan masyarakat. Masing-masing memiliki peran yang berbeda. Sekolah menyediakan pengajar yang amanah dan kafa’ah, pembelajaran yang penuh makna, menciptakan lingkungan dan budaya sekolah yang kondusif bagi terwujudnya pendidikan unggulan, serta adanya upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada serta pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada peserta didik. Sementara itu, keluarga berperan untuk secara sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai dasar keislaman secara memadai kepada anak, mengawasi pergaulannya serta mencontohkan keteladanan terbaik untuknya.

Dan yang tak kalah penting dari keduanya adalah peranan masyarakat dalam beramar ma’ruf nahi munkar terhadap perilaku-perilaku menyimpang generasi maupun untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Munculnya perilaku gaul bebas oleh generasi tak lepas dari pudarnya budaya saling mengingatkan di masyarakat. Amar ma’ruf nahi munkar dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak orang lain. Padahal justru hal ini bertujuan agar kemaksiatan dapat dicegah. Kolaborasi ketiga unsur pelaksana di atas akan semakin kuat tatkala negara juga turut ambil bagian dengan memastikan setiap tayangan televisi maupun media sosial terbebas dari konten-konten porno dan kekerasan.

Sayangnya smua pran di atas tak dapat ditrapkan scara utuh. Hal ini lantaran sistm skulrism yang ditrapkan di ngri ini mengarahkan tujuan pendidikan untuk mencetak generasi materialistik dan individualistik. Tentu saja dengan tujuan pendidikan semacam ini akan meniadakan semua peranan tadi. Sebab semua seolah menjadi tak penting apakah generasi memiliki kepribadian yang baik atau sebaliknya, apakah sisi spiritualnya benar-benar terbentuk atau tidak. Karena yang terpenting mereka bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.

Orientasi duniawi inilah yang membedakan antara sistem pendidikan hari ini dengan Islam. Dalam Islam, Pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan sebagaimana disebutkan di atas akan menjalankan perannya dengan penuh kesadaran. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah-lah yang mendorong munculnya kesadaran tersebut. Maka mewujudkan kolaborasi yang positif dimana pihak-pihak yang terlibat dapat berperan aktif akan sulit terwujud selama tujuan pendidikan tidak berubah serta sistem sekuler masih kokoh dipertahankan. Sebab asas inilah yang menghilangkan peran seutuhnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam proses pendidikan.*

 

Sri Wahyuni, S.Pd
Dadapan, Desa Pakistaji, Kec. kabat, Kab. Banyuwangi


latestnews

View Full Version