Mengapa mesti Sinovac? Padahal ada Pfizer dan Moderna dari Amerika yang efektivitasnya sangat tinggi (95 persen dan 94,5 persen) dan sudah lulus uji klinis fase ketiga.
Oleh:
Siti Aisyah, S.Sos., || Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok
SALAH satu harapan untuk mengakhiri penyebaran pandemi Covid-19, banyak lembaga atau instansi kesehatan dari berbagai belahan dunia berlomba-lomba menciptakan vaksin penangkal virus corona. Sinovac merupakan salah satunya. Vaksin yang diperkirakan akan beredar di awal 2021 ini, ternyata hasil kerja sama antara PT Bio Farma dengan perusahaan bioteknologi asal Tiongkok (Cina), Sinovac Biotech Ltd.
Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto pun memberikan sinyal yang baik terhadap vaksin ini. Ia mengatakan bahwa vaksin yang dibuat itu tergolong aman dan mampu memicu respon kekebalan tubuh dalam percobaan pada manusia dan juga menunjukan kemampuan untuk membentuk pertahanan terhadap infeksi Covid-19.
Seperti yang dilansir KOMPAS.com, Selasa (18/12/2020), Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan ada enam poin yang menjadikan alasan pemerintah membeli vaksin Sinovac yakni: Pertama, pembelian vaksin tersebut dipastikan aman, bermutu dan berkhasiat baik karena telah masuk dalam rekomendasi WHO.
Kedua, harga terjangkau. Ketiga, sudah masuk uji klinis tahap ketiga. Keempat, memiliki efek samping yang rendah. kelima, vaksin memiliki dosis tunggal. Artinya tidak perlu penyuntikan berkali-kali dalam kurun waktu tertentu. Keenam, mempertimbangkan sistem distribusi yang sudah dimiliki Indonesia.
Tapi, mengapa Kemenkes begitu yakni dengan vaksin Sinovac? Padahal, baru 4 negara yang setuju menggunakan vaksin Sinovac, yakni Brazil, Turki, Chili dan Indonesia termasuk di dalamnya. Juga, baru mau menuju uji klinis tahap tiga. Artinya, belum lulus uji klinis tahap tiga. Sinovac sendiri berharap, uji klinis tahap tiga selesai pada Mei 2021.
Mengapa mesti Sinovac? Padahal ada Pfizer dan Moderna dari Amerika yang efektivitasnya sangat tinggi (95 persen dan 94,5 persen) dan sudah lulus uji klinis fase ketiga. Ini menjadi tanda tanya besar? Ada apa di balik itu semua? Apa pula yang menjadi pertimbangan pemerintah tetap menggunakan Sinovac?
Kalau mau jujur, seharusnya pemerintah harus bisa mempertimbangkan dengan cermat dalam masalah impor vaksin ini, karena terkait dengan banyaknya nyawa rakyat. Jangan sembarang mengimpor, harus dilihat dulu apakah telah lulus uji klinis atau tingkat kekefektivannya sudah bagus. Jangan sampai karena alasan yang lain, sementara nyawa rakyat dipertaruhkan.
Apakah ada hubungannya dengan negara asal Sinovac dibuat sehingga impornya harus dari sana? Patut diduga seperti itu, karena sudah menjadi rahasia umum, secara ekonomi Indonesia berada dalam cengkeraman dan bayang-bayang Cina. Seakan apapun yang diperintahkan Cina, tentunya Indonesia akan segera melaksanakannya. Begitu juga dengan penggunaan vaksin Sinovac ini.
Atau apakah karena ada keuntungan besar yang masuk ke kantong-kantong saku mereka terkait bisnis vaksin ini? Entahlah, yang pasti pemerintah kita terlihat sangat antusias sekali bekerja sama dengan negeri yang jelas-jelas telah menjebak negeri ini dengan iming-iming investasi.
Kalau memang alasannya demikian, sepertinya pemerintah, para pejabat dan jajaran di bawahnya tidak peduli dengan nasib dan nyawa rakyatnya.
Jika memang vaksin Sinovac ini tergolong aman, bermutu dan berkhasiat baik karena telah masuk dalam rekomendasi WHO, tapi kenapa Bapak Presiden Jokowi menolak untuk divaksin duluan.
Seperti yang diungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam webinar, Sabtu, 12 Desember 2020 mengatakan bahwa Presiden Jokowi juga enggan divaksinasi duluan lantaran tidak mau melanggar aturan. “Kalau presiden mau disuntik duluan hari ini juga bisa, tetapi presiden tidak mau. Nanti dibilang mau presiden sendiri duluan, atau melanggar aturan,” ujar Luhut.
Loh, kok kenapa tidak mau di vaksin duluan Pak? Kan, menurut Kemenkes juga vaksin ini tergolong aman. Apakah masih ragu dengan keamanan vaksin ini, sehingga enggan untuk menjadi relawan uji coba klinis vaksin ini? Kalau memang ragu harusnya tidak usah memaksakan diri mengimpor vaksin Sinovac dan tak usah memaksakan rakyat untuk divaksinasi.
Sebelum meminta rakyat untuk menggunakan vaksin Sinovac, seharusnya Pak Presiden dulu yang mencoba. Kan, Bapak seorang pemimpin. Seorang pemimpin itu harus menjadi contoh dan panutan yang baik. Nah, jika memang sudah benar-benar aman dan efektif, barulah disebar dan diberikan kepada rakyat.
Jika pemerintah masih ragu dengan keamanan vaksin Sinovac, tapi tetap memaksakan diri membeli dan menggunakannya, itu artinya pemerintah sudah berbuat zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalan Al-Qur’an Surah asy-Syura ayat 42 yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih.”
Begitu juga dalam hadits, “Siapa pun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR Ahmad).
Sungguh, perbuatan zalim adalah dosa besar. Apalagi kezaliman ini dilakukan oleh para penguasa/pemimpin. Sungguh Allah SWT menebar ancaman kepada para pemimpin yang menipu dan berbuat zalim kepada rakyatnya. Perbuatan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dan akan merasakan akibatnya di akhirat kelak. Naudzubillahi mindzalik.
Rasulullah SAW pun mendoakan kesusahan bagi para pemimpin yang zalim. “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Imam Muslim).
Semestinya, seorang pemimpin menjalankan tugas dengan baik dan seadil-adilnya. InsyaAllah, jika ia terus berupaya, pertolongan dari-Nya akan datang. Namun, jika ia justru menyepelekan amanah, maka kesulitan akan menimpanya. “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim).*