View Full Version
Senin, 11 Jan 2021

Ironi Pangan, Saat Gelombang Impor Sulit Dihentikan

 

Oleh: Hana Syifa Rachmawaty

Memasuki 2021, harga kedelai di pasaran melonjak drastis.  Pedagang tahu dan tempe pun terkena imbas. Sebab, harga kedelai impor yang mengalami kenaikan dirasa menyulitkan, belum lagi stoknya yang disebut-sebut menipis. Kedelai dari yang semula 6.500 perkilogram naik menjadi 9.500 perkilogram. "Belum lagi kalau tahunya rusak, otomatis ya rugi," jelas Aziz, salah seorang pengrajin tahu dan tempe.

Menurut kementerian perdagangan, kenaikan harga kedelai ini dipicu oleh meningkatnya permintaan Cina ke Amerika Serikat sebagai eksportir terbesar kedelai di dunia. Akibatnya, pasokan kedelai dari Amerika ke beberapa negara pengimpor kedelai terhambat termasuk ke Indonesia.

Sebetulnya bukan kali ini saja kelangkaan kedelai terjadi karena tingginya harga kedelai impor. Pada tahun 2012, kejadian yang sama pernah terjadi. Tahu dan tempe menghilang dari peredaran dengan alasan yang sama, yakni harga kedelai impor yang melonjak. Hingga akhirnya pemerintah mengambil langkah cepat dengan menurunkan bea masuk produk luar negri ke Indonesia (impor) dari 5% menjadi 0%. (detikfinance.com, 28 Juli 2012)

Untuk menanggapi kelangkaan kacang kedelai impor, pemerintah menyiasatinya dengan menggenjot produksi kacang kedelai lokal. Diharapkan pasokan kedelai lokal dapat bertahan selama 6 bulan ke depan menunggu stabilitas pasokan kedelai impor. Meskipun begitu, stok kedelai lokal diprediksi hanya 30% dan tidak diyakini mampu memenuhi kebutuhan kedelai di Ibu Kota.

Ketergantungan Indonesia pada kedelai impor sebenarnya sungguh disayangkan. Pasalnya, Indonesia memiliki lahan pertanian yang sangat luas, justru malah mengimpor kedelai dari luar negeri. Padahal kedelai lokal pun tak kalah baik kualitasnya jika ditangani dengan baik. Namun, pemerintah berdalih, buruknya kualitas kedelai lokal serta harga jualnya yang terbilang murah membuat petani tidak banyak melirik budidaya kedelai lokal.

Menurut Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmaja, selama ini jumlah produksi kedelai lokal tidak sampai 1 juta ton pertahun, padahal kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,6 juta ton pertahun. Perbandingan jumlah yang cukup jauh dalam pemenuhan kebutuhan bahan pangan tersebut di dalam negeri.

Stabilitas Harga Kedelai dan Cara Mencapainya

Sistem ekonomi yang berlaku saat ini yang dikuasai oleh kepentingan kapitalis liberalis nyatanya telah gagal mewujudkan ketahanan pangan dan malah menyuburkan liberalisasi pangan. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ada sekitar 82%  lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar. (Tempo.co 2018). Hal inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia kekurangan stok tanam kedelai akibat lahan yang minim dan jumlah petani kedelai yang sedikit sehingga mengharuskan aktivitas impor kedelai dari luar negeri.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah memiliki peranan penting dan strategis demi menciptakan keseimbangan harga pasar yakni dengan melakukan intervensi baik langsung maupun tidak langsung. Intervensi langsung, yaitu dengan cara memberikan batasan harga tertinggi dan harga terendah suatu produk. Intervensi tidak langsung, yaitu dengan cara memberikan subsidi atau penetapan pajak terhadap barang impor yang masuk ke dalam negeri.

Stabilisasi merupakan tindakan untuk mempertahankan suatu harga barang maupun jasa pada tingkat tertentu yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak sekali program yang dapat dilaksanakan pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga demi mencukupi kebutuhan masyarakat, salah satunya dengan cara mengadakan Operasi Pasar Murni (OPM). Operasi Pasar merupakan suatu kegiatan untuk menghindari terjadinya kenaikan harga suatu barang, yang dilakukan dengan cara injeksi untuk meningkatkan suplai melalui pedagang swasta, BUMN, atau langsung ke pedagang eceran dengan cara penetapan harga dengan harga dibawah harga pasarnya.

Ketahanan Pangan dalam Islam

Dalam Islam, pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang wajib terpenuhi dan negara wajib menjamin pemenuhan tersebut. Dalam masalah mengembalikan stok pangan, pemerintahan dalam sistem Islam dituntut untuk segera menyelesaikannya diantara caranya ialah dengan peningkatan produk lahan dan produksi pertanian. Hal ini dapat ditempuh melalui ekstentifikasi pertanian dengan menghidupkan kembali lahan mati.

Khalifah akan memberikan edukasi kepada para petani mengenai usaha pertanian yang mereka lakukan. Mendorong siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali lahan mati serta memberi fasilitas yang dibutuhkan serta permodalan yang menunjang usaha mereka. Di dalam Islam, lahan yang tidak di kelola perorangan atau tidak terpakai selama tiga tahun, maka lahan tersebut di kembalikan kepada negara kemudian diserahkan kepada pihak yang mampu untuk menghidupkan kembali lahan kosong tersebut demi kemakmuran rakyat Daulah.

Pemimpin juga memiliki kewajiban dalam melakukan kontrol urusan perdagangan luar negeri. Hal ini dimaksudkan agar rakyat di dalam negeri tidak merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Negara di bawah sistem Islam boleh menjual berbagai komoditas perdagangan ke luar negeri dengan catatan kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Namun jika dirasa pasokan pangan di dalam negeri kurang memadai, maka warga negara Daulah dilarang untuk menjual komoditasnya ke luar negeri, hal ini berlaku bagi muslim maupun non muslim.

Interaksi dagang antara muslim dan non muslim pun di atur di dalam Islam. Kaum muslim dilarang melakukan jual-beli terhadap negara kafir harbi fi'lan yakni negara yang memerangi Daulah secara langsung. Sebab, hal tersebut merupakan ta'awun yang dilarang.

Mengenai kebijakan impor, Islam mengaturnya dengan jelas. Pertama, Islam mengizinkan wilayahnya melakukan aktivitas impor komoditas dengan negara di luar Islam yang tidak memusuhi dan memiliki perseteruan dengan wilayah Islam dan pemimpinnya dalam hal produk apa saja selain persenjataan dan alat-alat strategis.

Kedua, warga dari luar Daulah yang memiliki kebencian terhadap Islam dilarang memasuki wilayah Islam. Begitupun komoditas produk dari mereka, kepala negara tidak akan mengizinkannya untuk memasuki wilayah Daulah. Hal ini dilakukan karena seorang khalifah memiliki tanggung jawab dalam melindungi stabilitas ekonomi negaranya serta demi mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban dakwah keseluruh dunia.

Namun di sisi lain, kesediaan pangan di wilayah Islam juga sudah terjamin. Daulah memiliki stok bahan-bahan mentah yang dibutuhkan oleh umat dan negara. Akibatnya, negara Islam sudah bisa melakukan swasembada pangan dan tidak membutuhkan lagi barang-barang dari luar negeri. Tidak lagi khawatir akan stok pangan yang menipis dan harganya yang tinggi. Semua ini tentu akan bisa diterapkan saat pemimpin dan rakyatnya kembali kepada aturan Islam yamg sempurna dan paripurna. Wallahu A'lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version