View Full Version
Selasa, 12 Jan 2021

Suntik Kebiri Bukan Solusi

 

Oleh:

Fita Rahmania, S. Keb., Bd

 

KEJAHATAN seksual yang semakin mengganas membuat pemerintah mencoba memutar otak demi mencari solusi yang tepat. Solusi yang dianggap efektif adalah penetapan  hukum kebiri kimia bagi predator seksual. Dilansir dari tirto.id, Presiden Jokowi resmi menandatangani peraturan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang ditandatangani pada 7 Desember 2020.

Berdasarkan salinan peraturan Pasal 1 ayat 2, Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.

Sementara bunyi Pasal 1 ayat 3: "Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."

Banyak pro kontra yang muncul dengan penetapan hukuman kebiri ini. Salah satunya dari sisi kesehatan. Dalam studi yang dipublikasikan oleh Journal of Korean Medical Science mengklaim bahwa kebiri, baik kimia maupun fisik mampu mengurangi minat seksual, kinerja seksual, dan pelanggaran seksual. Hal ini karena obat kimia yang digunakan mengganggu produksi hormon testosteron pelaku. Namun, penggunaan obat-obatan kebiri kimia dapat menyebabkan efek samping termasuk osteoporosis, penyakit kardiovaskular, dan gangguan metabolisme glukosa dan lipid. Selain itu, pelaku juga dapat mengalami depresi, hot flashes, infertilitas, dan anemia. Serangkaian efek samping akan terus memburuk seiring dengan pemberian obat kimia dalam jangka panjang. (tirto.id)

Pemberlakuan hukuman ini bisa jadi bukan sesuatu yang mudah. Karena dalam pelaksanaannya, kebiri kimia di Indonesia akan dikenakan pada pelaku dalam jangka waktu maksimal dua tahun dan akan butuh pengawasan oleh tenaga ahli dan pelaku akan mendapatkan rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik.

Jika menilik kembali tentang masalah kejahatan seksual di Indonesia, maka banyak faktor lain selain hasrat seksual dari dalam diri sang pelaku. Kasus pornoaksi dan pornografi yang terus merajalela membuat hasrat seksual yang merupakan ghorizatul nau’ (naluri melestarikan jenis) selalu terangsang dan meminta pelampiasan. Ketika si pelaku belum siap menikah disertai minimnya keimanan, maka ia akan mudah terjerumus pada pelampiasan yang salah, yakni melakukan kejahatan seksual.                

Carut marut liberalisasi ekonomi di negeri ini turut memicu kasus kejahatan seksual. Bukan rahasia umum jika kemiskinan masih mendominasi masyarakat. Kurangnya lapangan kerja bagi para suami memaksa para istri ikut mencari nafkah hingga tak sedikit yang harus sampai menjadi TKW di luar negeri. Istri pun akan sibuk bekerja dan melalaikan tugasnya dalam melayani suami. Akibatnya, para suami tidak dapat menyalurkan hasrat seksual dengan semestinya.

 Dengan peliknya persoalan tersebut,maka solusi berupa hukum kebiri kimia tentu dapat dinilai kurang tepat. Islam sebagai dinul haq (agama yang benar) memiliki solusi yang komperhensif. Allah SWT Sang Maha Pencipta telah menurunkan aturan super lengkap yang dapat menjawab segala persoalan manusia.

Syariat Islam hadir dengan dua fungsi, yaitu preventif dan kuratif. Fungsi preventif tercermin dari sistem pergaulan sosial (nizhamul ijtima’iy) yang begitu lengkap, mencakup pengaturan laki-laki dan perempuan di kehidupan khusus serta di kehidupan umum (public area).

Secara umum, Islam mengatur mulai dari penetapan batasan yang jelas akan aurat laki-laki dan perempuan, pakaian penutup aurat, kewajiban menjaga pandangan, larangan tabarruj, larangan khalwat dan ikhtilat, pengaturan safar bagi perempuan, dorongan menikah hingga pengaturan rumah tangga.

Sedangkan bagi siapa saja yang tetap berbuat kejahatan seksual, Syariat Islam memilik sanksi yang tegas.  Pertama, sanksi bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam kitab Muwatha’ pelaku wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama satu tahun, serta memberikan “mahar” (denda) yang diberikan kepada korban.

Sesuai firman Allah,

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS an-Nur: 2).

Kedua, mengutip dari Abdurrahman al Maliki, bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah dan melakukannya disertai ancaman serta menakut-nakuti, maka wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun serta dipenjara selama tiga tahun.*


latestnews

View Full Version