Oleh:
Ana Nazahah
AKU sering bertanya, kenapa ada jenis manusia yang begitu malu saat tak bisa menyampaikan Islam dan meluruskan kesalahan. Menderita karenanya, lantas melampaui rasa benci jika tidak memihak kebenaran.
Kenapa ya, ada manusia yang seperti itu? Ia yang bisa memisahkan putih dan hitam, seperti ibu yang memilih batu dalam beras.
Hatinya lega saat berbuat kebajikan, gelisah saat tiba-tiba menduga bahwa yang barusan dilakukan kesalahan.
Anehnya, ada juga manusia yang menikmati membohongi dirinya sendiri jauh lebih dalam. Memalsukan senyuman atas badan yang menderita karena tidak didengarkan. Mengaku malu, tapi justru bukan dalam hal dibenarkan. Di saat Islam mengajarkan bahwa tak ada malu jika bukan dalam kebaikan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الحياءُ لا يأتي إلَّا بخيرٍ
“Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan” (HR. Al Bukhari)
Apa kau tau, setiap hati manusia itu awalnya bersih, suci. Ia menjadi hitam bukan karena buruk hati, atau hatinya berpenyakit. Tapi karena seringnya diabaikan. Suaranya tidak didengar.
Apa kau tau, alasan kenapa saat kau bermaksiat kau lakukan sembunyi-sembunyi? Itu karena kau tak ingin merusak reputasimu di depan orang- orang. Tapi malangnya hati, reputasimu telah tercemar di depan hati nurani. Karenanya dia menjadi hitam. Sebagai bentuk perlawanan. Jauh di dasar sanubari, aku tau dia menjerit sakit.
Dalam hal ini, bagaimana jika kita buat pengakuan? Kau jenis manusia yang mana. Apakah kau adalah dia yang malu dengan statusmu sebagai Muslim? Apakah kau adalah dia yang malu menjadi pengemban dakwah? Apakah kau adalah dia yang malu menyampaikan Islam ke orang- orang?
Apakah kau adalah dia yang kalah di depan kejahiliyahan sahabatmu yang belum hijrah? Bertekuk lutut di bawah kaki pemahaman mereka. Diam seribu bahasa melihat kemaksiatan mereka? Menyimpan pemahaman Islam yang kau punya. Tidak membenarkan mereka, namun tidak kau luruskan juga. Kau malu. Islam yang kau cinta ini, bagimu memalukan.
Habis lah masa demi masa, kau tinggal serumah dengan saudara. Dengan ibu, dengan ayah, dengan kakak, dengan adik. Namun, tidak satu pun kalimat dakwah kau sampaikan ke mereka. Kau bilang sangat mencintai mereka. Tapi mau bagaimana, kau masih menganggap kebaikan ini memalukan.
Kau malu sekali dengan statusmu sebagai pengemban Islam. Malu yang tiada batas hingga tak berkesudahan. Kau terus membohongi diri dengan mengatakan tengah berjuang, merindukan Islam tegak. Namun, tak bisa lantang. Karena terjebak rasa malu yang mengekang.
Aku ingin membisikimu wahai diri. Diriku sendiri. Islam adalah sesuatu yang tinggi. Justru sikapmu itu yang memalukan. Coba dengarkan sanubari, apa sebenarnya yang dia inginkan. Lihat dia dengan mata hatimu sendiri. Apa dia baik-baik saja? Atau dia kesakitan dan menghitam akibat rasa jijik pada sikapmu yang memuakkan?
Sampai kapan kau dustai nurani itu? Sampai kapan? Apa kau tak punya rencana berhenti dari sikap membohongi diri? Jika tidak, bungkus saja malumu itu! Bawa pulang! Pergilah sejauh apapun. Nurani itu, sakiti! Sampai tubuhmu hancur dimakan cacing tanah. Lakukan saja! Sesukamu. Lalu tinggalah dengan rasa malu itu selamanya.*