Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
LONJAKAN baru berarti kebijakan baru. Mungkin ungkapan tersebut yang terngiang ketika menyaksikan lika liku perjalanan kasus Covid-19 di negeri ini. Kebijakan baru senantiasa tercerus demi menjawab fluktuasi pandemi. Namun, kebijakan demi kebijakan yang silih berganti tersebut belum juga dapat membunuh virus ini secara tuntas.
Jika kita menilik ke belakang, pada awal pandemi melanda pemerintah sempat memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimana mekanisme kebijakannya, yaitu gubernur/ bupati/ walikota mengusulkan PSBB, kemudian menteri menetapkan persetujuan, dan PSBB diterapkan di lingkup wilayah tertentu (provinsi, kabupaten, atau kota).
Setelah kasus Covid-19 dinilai cukup terkendali, pemerintah kemudian memberlakukan kebijakan PPKM khusus hanya di tujuh provinsi yang ada di Jawa-Bali, sejak 11 Januari 2021 selama dua pekan dan sempat diperpanjang satu kali. Wilayah tersebut dipilih karena memiliki mobilitas tinggi dan menyumbang angka kasus positif Covid-19 terbesar dibandingkan dengan wilayah lainnya. (nasional.tempo.co)
Namun, PPKM Jawa-Bali kembali dianggap tidak lagi efektif. Pemerintah selanjutnya memberlakukan PPKM Mikro, masih di tujuh provinsi yang sama. Bedanya, strategi penanganan PPKM Mikro berbasis komunitas masyarakat hingga unit terkecil di level RT/RW.
Pada PPKM mikro, pekerja yang bekerja di kantor dibatasi 50 persen. Pusat perbelanjaan atau mal boleh beroperasi hingga pukul 21.00. Kemudian, kapasitas makan di restoran atau dine-in dibatasi maksimal 50 persen. Kapasitas rumah ibadah dibatasi maksimal 50 persen.
Tak disangka kasus Covid-19 melonjak pasca libur Lebaran 2021. Pemerintah memutuskan menerapkan penebalan PPKM mikro diberlakukan selama 14 hari mulai Selasa, 22 Juni 2021.
Sayangnya, Kebijakan penebalan PPKM Mikro ini pun dianggap tidak cukup untuk menangani kasus Covid-19 yang terus naik hingga menembus kisaran 20 ribu kasus per hari. Akhirnya, Presiden Jokowi memutuskan menetapkan PPKM Darurat.
Kebijakan ini diterapkan di 48 Kabupaten/Kota dengan asesmen situasi pandemi level 4 dan 74 Kabupaten/Kota dengan asesmen situasi pandemi level 3 di Pulau Jawa dan Bali. Level asesmen ini dinilai berdasarkan faktor laju penularan dan kapasitas respons di suatu daerah sesuai rekomendasi WHO. Level asesmen 3 dan 4 adalah daerah yang memiliki transmisi penularan tinggi, tapi kapasitas respons daerahnya tergolong sedang hingga rendah. Daerah inilah yang dinilai perlu treatment khusus melalui kebijakan PPKM Darurat. (nasional.tempo.co)
Kegagalan berulang yang dialami oleh kebijakan-kebijakan sebelumnya harusnya membuat penguasa kita sadar dan mawas diri. Tidak dengan mengkambinghitamkan rakyat yang disebut abai dalam menjalankan protokol kesehatan, namun mengevaluasi kembali kebijakan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan kebijakan mereka. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya kasus Covid-19. Bahkan, jumlah angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia pada Rabu (7/7) mencapai rekor tertinggi sejak pemerintah mengumumkan kasus pandemi Maret 2020. Angka kasus yang terkonfirmasi selama 24 jam mencapai 34.379 kasus dan yang meninggal mencapai 1.040 pasien.
Sejatinya yang menyebabkan Indonesia babak belur dalam pertarungannya dengan Covid-19 adalah kebijakan negara yang salah langkah. Membebek pada barat dan kebijakannya sarat kepentingan korporasi. Lihat saja kebijakan negeri ini yang berubah-ubah dan berputar pada masalah ekonomi. Misal di awal pandemi ini saat negara lain menutup akses pintu negaranya. Negara ini malah mengundang wisatawan dan menarik tenaga kerja asing.
Islam sesungguhnya memiliki solusi komperhensif dalam permasalahan ini. Kebijakan menutup seluruh kegiatan ekonomi seperti blanket lockdown dan PPKM ala barat tak sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw. Wajar perekonomian kolaps karena yang Rasulullah Saw. ajarkan adalah hanya mengisolasi daerah yang terkena wabah. Sementara penduduk diluar wabah beraktivitas seperti biasa. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR Imam Bukhari Muslim)
Selain itu, negara harus hadir dalam memenuhi seluruh kebutuhan individu masyarakat Indonesia. Area yang terkena wabah akan di-support penuh kebutuhannya oleh negara. Sayangnya negeri ini lagi-lagi tak serius memberikan bantuan. Malah dana pandemi dibagi-bagi pada sejumlah korporasi. Mungkin kita masih ingat polemik kebijakan kartu pra kerja yang lebih terlihat pro pengusaha dari pada rakyat.
Dengan demikian, nasib kebijakan PPKM darurat bisa saja berakhir sama dengan kebijakan-kebijakan pendahulunya, yakni dengan tidak terkendalinya kasus dan akan kembali digantikan dengan kebijakan baru.*