View Full Version
Kamis, 15 Jul 2021

Gerakan Keluarga Berdoa, Bisakah Hentikan Wabah?

 

Oleh:

Sri Wahyuni, S.Pd || Praktisi Pendidikan & Freelance Writer

 

“Hari ini, memasuki hari kedua PPKM Darurat, saya himbau warga desa tetap di rumah, mohon ditahan dulu segala bentuk aktivitas diluar rumah kecuali ada keperluan yang sangat mendesak.” Imbauan itu disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar melalui cuitannya di akun Twitter @halimiskandarnu.

Tak hanya itu dirinya juga mengajak masyarakat untuk selalu berdoa agar pandemi covid-19 berlalu dan ekonomi bangkit. Himbauan ini disampaikannya kepada seluruh kepala desa, pendamping desa, dan seluruh warga desa yakni agar melakukan doa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Betul doa adalah senjata, bagi muslim khususnya doa adalah sumber kekuatan dalam menghadapi setiap perkara kehidupan. Akan tetapi doa pun harus disertai ikhtiar maksimal. Termasuk diantaranya adalah membersihkan noda-noda kemaksiatan yang masih menjadi rutinitas. Seperti halnya seruan Rasulullah atas umatnya tatkala gempa mengguncang Madinah. Saat itu beliau lantas meletakkan tangannya di atas bumi dan bersabda, “Tenanglah! Belum tiba saatnya bagimu.” Kemudian menoleh kepada para sahabat seraya memberi tahu, “Tuhan ingin agar kalian melakukan sesuatu yang membuat-Nya ridho. Karena itu, buatlah agar Dia ridho kepada kalian.” Hal yang sama juga dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khattab tatkala gempa kembali mengguncang Madinah, sahabat bergelar al-Faruq tersebut menyeru kepada penduduk setempat, “Wahai manusia, gempa ini tidak terjadi kecuali karena perbuatan kalian! Demi Zat yang menggemgam jiwaku, jikalau ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal disini besama kalian.”

Dengan demikian sesungguhnya ada hikmah yang bisa dipetik atas peristiwa tersebut, yakni agar doa diijabah oleh Allah maka keridhoaan Allah atas perbuatan kita menjadi penting. Muhasabah oleh seluruh lapisan masyarakat adalah seruan yang harusnya disampaikan bukan berhenti pada doa. Tak sekedar oleh keluarga melainkan terhadap para pemangku kebijakan. Bukankah selama ini ada banyak sekali kebijakan yang sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap syariat-Nya Allah. Pelegalan miras misalnya, Pemerintah hanya mengatur peredarannya dan bukan melarang aktivitas produksi dan konsumi oleh masyarakat. Akibatnya ada banyak kasus kriminal yang terjadi, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dsb. Pembangunan negeri pun menjadi tak berkah sebab diantara dana nya bersumber dari pajak produksi barang haram tersebut. Tak berhenti pada kasus pelegalan miras, ada juga pajak yang kini bahkan jenisnya kian beragam. Padahal jelas bahwa Islam mengharamkan pemungutan pajak, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim). Pemungutan pajak atau dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah hanya akan ditarik dalam kondisi darurat dimana kas negara betul-betul kosong. Ini pun hanya akan ditarik terhadap rakyat kaya saja, bukan seperti hari ini.

Seolah tak cukup, kedholiman terus berlanjut tatkala pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) diserahkan kepada swasta dan asing. Rakyat pada akhirnya tak dapat menikmati apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Belum lagi kasus korupsi yang kian menggurita hingga dana bantuan sosial pun tak luput dari bancakan korupsi. Pelayanan terhadap rakyat yang ala kadarnya, dan masih banyak lagi daftar dosa yang masih terus dilakukan penguasa hingga hari ini.

Dengan banyaknya daftar kebijakan yang melanggar syariat, lantas bagaimana mungkin berharap Allah Swt akan ridho sehingga menghentikan wabah? Oleh karenanya, jika benar menginginkan wabah berhenti perlu dilakukannya taubat massal oleh seluruh lapisan masyarakat dengan kembali pada hukum Allah bukan lagi berkhidmat pada hukum manusia.*


latestnews

View Full Version